Teater Koma di Jakarta mungkin identik dengan lakon komedi dan mungkin juga penonton harus rela antrian untuk mendapatkan tiket pertunjukan. Itu Jakarta, pusat segala bentuk aktivitas seni dan budaya mendapatkan respon dan pemberitaan yang luar biasa. Di ujung Sumatera, tepatnya di Kampus Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU), Teater ‘O’ USU masih eksis manggung dalam lakon komedi selama lebih dari 13 tahun (grup ini berdiri pada 1 Oktober 1991). Dan uniknya lagi, mereka tidak pernah beranjak manggung dari Gelanggang Mahasiswa USU. Dalam catatan yang penulis peroleh, grup ini tercatat hanya tiga kali manggung di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) dibanding 40 produksi pementasan yang telah mereka lakoni. Tiga kali manggung itu pun dalam status undangan pengelola TBSU.
Grup ini didirikan di Kampus Sastra USU, 1 Oktober 1991 oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra USU. Hingga sekarang, satu-satunya grup teater mahasiswa di universitas ternama di Medan ini, sudah memiliki lebih kurang 500 anggota. Kenapa Teater ‘O’ tetap setia dengan lakon komedi hingga sekarang? Drs Yusrianto Nasution, salah seorang pendiri grup ini mengatakan mereka memilih langkah itu karena sejumlah grup teater di Sumut, khususnya di Medan , selalu berpindah-pindah haluan dalam penggarapan. Kata Yusrianto, sikap seperti itu akan menjauhkan grup dari penonton. ‘’Beda dengan Teater O. Jika akan manggung, orang sudah yakin suguhannya pasti komedi. Dan bagi kami komedi satire adalah trade mark grup,’’ujar penyiar RRI Pro 2 FM Medan ini.
Dijelaskan alumnus FS USU ini, trade mark itulah yang mereka jual ke penonton, terutama kalangan mahasiswa dan seniman Medan . Dalam catatan sejarahnya, jika Teater ‘O’ USU manggung, maka Gelanggang Mahasiswa USU yang berkapasitas 1000 orang selalu sulit menampung antusiasme penonton. Bahkan tidak jarang penonton rela duduk di gang-gang yang memisahkan kursi penonton. Grup ini pernah menghadirkan penonton sekitar 1200 lebih dalam pertunjukan naskah Wek-Wek karya D Djajakusuma.
Konsistensi itu setidaknya ditunjukkan juga dengan sikap untuk lebih mengutamakan naskah sendiri daripada naskah luar. Tercatat, hanya naskah Wek-Wek (D Djajakusuma), SOK (Moliere), Malam Terakhir (Yukio Mishima), dan Silhuet serta Rimba-rimba Cermin (Z Pangaduan Lubis) yang dimainkan Teater ‘O’. Bahkan untuk tiga naskah terakhir di atas, tidak mengusung naskah komedi satire. Selebihnya, Teater O dipastikan akan mengusung naskah sendiri. Terbanyak memang karya Yusrianto Nasution.
Grup ini juga pernah mencoba cari haluan baru dengan mengusung naskah absurd berjudul
Malam Terakhir, Silhuet dan Rimba-rimba Cermin. Justru langkah itu jadi boomerang. ‘’Karena sejak itu kami mulai ditinggalkan penonton,’’aku Yusrianto seraya menjelaskan dalam naskah Rimba-rimba Cermin, misalnya, belum mencapai satu jam dari dua jam durasi pertunjukan, penonton sudah pelan-pelan meninggalkan panggung. ‘’Nggak ngerti kami. Berat dan gelap. Tidak seperti Teater O yang kami tonton,’’papar Yusrianto menirukan keluhan penonton yang diterimanya usai mentas.
Sadar bahwa penonton mulai protes, Teater ‘O’ pun kembali ke ‘jalan yang benar’. Sejak itu, naskah komedi seperti Sayembara Bohong, Profesor Botol, Gara-gara, Pangeran Jongkok, dan terakhir Presiden Ha-ha Hi-hi dipentaskan grup ini. Jika melihat antusiasme penonton menyaksikan pertunjukan Teater ‘O’, seharusnya begitu pula dengan pertunjukan serupa di TBSU Medan . Tapi sayangnya, jika ada pertunjukan teater di TBSU, jumlah penontonnya tidak lebih dari 300-400 orang. Bahkan kalau boleh dibilang, orangnya itu ke itu saja. ‘’Itu karena seniman di TBSU kurang membaca pasar. Di saat booming sinetron melanda dunia hiburan di televisi, seharusnya seniman Medan berani mencari alternatif. Di sini anak-anak Teater O punya kelebihan,’’kata Mukhlis Win Arioga, salah seorang pekerja teater di Medan . Mukhlis bisa benar. Meskipun bersaing dengan grup musik Raja dan RIf yang pernah manggung di USU--tidak jauh dari tempat Teater O mentas--jumlah penonton Teater O tidak pernah kurang dari 700 orang.
Tidak selamanya langkah Teater O berjalan mulus. Di penghujung 80-an di Medan, sempat ada jarak antara seniman kampus dan seniman luar kampus. Jarak itu setidaknya juga mempengaruhi iklim pertunjukan kesenian. Tak pelak, Teater ‘O’ USU pun terimbas. Grup ini sempat dituding ‘jago kandang’ karena setiap pementasannya tidak pernah keluar dari kampus USU Medan. ‘’Sikap grup ini semata-mata didasari kepada kepentingan membangun kesadaran berkesenian di kalangan mahasiswa disamping, tentu saja, mencari keuntungan secara finansial, ‘’kata Yusrianto menjelaskan kenapa Teater ‘O’ USU lebih memilih tampil di kampus daripada di TBSU Medan . Mungkin karena sikap itu pulalah yang membuat grup ini tidak begitu mendapat tempat di kalangan seniman Medan . Jika pun ada seniman yang menonton pertunjukan mereka di Gelanggang Mahasiswa USU Medan , itu tidak lebih dari puluhan orang.
Meski secara kualitas pementasan Teater O setia pada jalur komedi satire, grup ini ternyata memiliki problem terbesar yang hingga sekarang sulit teratasi. Teater O adalah grup yang menerapkan manajemen berkesenian yang tidak profesional. Bayangkan saja, di usianya yang sudah tua ini, kondisi keuangan grup ini masih ‘senin-kamis’. Kadang untuk membiayai sebuah pementasan, mereka sangat tergantung kepada bantuan rektorat dan fakultas tempat grup ini bernaung. ‘’Mungkin karena tujuan kami mentas bukan cari uang, jadi kondisi keuangannya pun seperti itu,’’aku Agus Mulia, salah seolah generasi pertama Teater O.
Di tengah kondisi keuangan yang serba memprihatinkan itu, grup yang punya moto Hadir dan Ada Bukan Sekedar Datang dan Bernafas ini masih eksis. Bayangkan misalnya dengan sejumlah grup teater kampus di Medan yang hidup segan mati tak mau. Ternyata resep mereka sederhana saja untuk tetap bisa manggung. ‘’Dua kali mentas dalam setahun adalah kewajiban pengurus. Itu tidak bisa ditawar-tawar,’’kata Ivan Sugito, pimpinan grup ini. Ternyata dengan setia pada konsep, sebuah grup teater akan tetap eksis.
Yulhasni, jurnalis dan penikmat teater di Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar