Minggu, 26 Juni 2011

Bengkel Demokrasi Itu Bernama Teater O oleh Didik L. Pambudi

Meskipun banyak yang tidak mengenal Teater O tetapi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS-USU) identik dengan teater O. Lembaga mahasiswa yang kerap memberikan prestasi kepada FS-USU serta tak lekang di panas tak lapuk di hujan hingga hampir 19 tahun pendiriannya (sejak 1 Oktober 1991) adalah Teater O.

Ribuan anggotanya sudah tersebar di seluruh tanah air. Menariknya, anggota-anggota awal masih banyak yang terus membesarkan teater ini. Misalnya, Yusrianto (alumnus Sastra Melayu angkatan 1986; kini pegawai RRI) yang memberikan nama “O”. Ia masih terus menyutradai beberapa naskah yang dianggap penting. Lalu Mukhlise (kawanku satu angkatan di Sastra Indonesia 1991) bahkan lebih gila karena rela keluar dari editor berita sebuah harian bisnis di Medan karena ingin total berkesenian di kampus (suatu hari USU, minimal FS-USU harus membangun patungnya).

Kini sedikit kuceritakan masa awal pendirian Teater O hingga aku merasa menjelma menjadi manusia baru.

Cerita bermula ketika pada tahun 1991, sebelum aku masuk kuliah di FS-USU, terjadi pertengkaran antar-sesama anggota Teatar Ladang yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di USU. Cerita itu kuketahui beradarkan penuturan pendiri Teater O diantaranya Sastra Maulud, Yusrianto, Ibrahim Sembiring…. Apa penyebab pertengkaran, aku tak ingin menceritakannya.

Pertengkaran menyebabkan Teater Ladang (saat itu bermarkas di Pendopo USU) terpecah dua. Sebagian besar memilih keluar dari Teater Ladang dan berniat mendirikan teater baru di FS-USU. Begitupun ada beberapa pekerja seni, diantaranya Thompson Hutasoit (biasa menyingkat marganya dengan Hs) memilih bertahan di Teater Ladang.

Saat itu Thompson adalah mahasiswa senior dari Sastra Indonesia angkatan 1987. Ia lelaki yang kupikir dikirim dari surga karena hampir seluruh pembicaraannya tak pernah kumengerti walau selalu dibuktikannya. Yah mirip lagu Ebiet G Ade “Lelaki dari Surga”. Kukutipkan sedikit liriknya: …kata-katanya tak bisa dimengerti namun selalu saja akhirnya terbukti. Dia lelaki gagah perkasa; dia lelaki ilham dari surga…

Demikianlah. Sosok Thompson telah menyihirku.

Pada masa perkenalan mahasiswa baru dengan para senior, Thompson bertanya padaku dan rekan-rekanku, apakah kami suka berteater dan ingin menjadi anggota teater. Kami yang masih hijau raya-raya tentu mengatakan suka dengan teater. Biasalah, lagi kemaruk (kupikir, ini diksi yang pas untuk euphoria) jadi mahasiswa. Apa saja yang dianggap “melambangkan mahasiswa” pasti dijajal.
Ketika Senat Mahasiswa (Sema) FS-USU membuka pendaftaran bagi anggota teater, aku, Yulhasni (kini dosen di Medan), Agus Mulia (kini staf balai bahasa di Medan), Mukhlise Win Ariyoga, Rahmat Efendi Siregar (kudengar ia aktif berpolitik di Tapanuli Selatan), Hermansyah Putra (pernah jadi karyawan di Taman Ria Medan sebelum gedungnya dipindahkan dari pusat kota untuk dijadikan hotel), Ali Sidiqin (kini kepala sekolah), Saiful Bahri Lubis (kini guru di Palembang), Rosliani (kini staf balai bahasa di Medan) yang semuanya mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 1991 segera mendaftar. Menyusul kemudian Andry F. Isra (mahasiswa Sastra Inggris angkatan 1991, kini kapten TNI AU di Kupang) serta almarhum Alfian (Sastra Melayu angkatan 1991, meninggal dalam pelatihan masuk Resimen Mahasiswa USU —kabarnya karena sakit jantung—setelah keluar dari Teater O).

Aku, awalnya, tak tahu bahwa teater yang dibuka senat mahasiswa bukanlah Teater Ladang. Artinya, tanpa kusadari, kelak aku justru berkompetitor dengan salah satu seniman yang kusukai, Thompson Hs.
Masuk teater memang bikin ketagihan. Meski, dalam hitungan hari, aku tahu teater milik senat mahasiswa justru tandingan Teater Ladang tapi masa hari ini masih bicara perbedaan? Yang penting berteater. Titik.

Aku pun masabodo dengan segala macam intrik di teater. Yang jelas, aku di teater untuk latihan dan mengolah fisik serta mental plus spiritual.

Dan ternyata teater memang mantap, sehat menggemaskan, berkualitas, kompak, dan ini dia puncaknya: demokratis.

Gank yang kudirikan waktu SMP pun kekompakannya kalah jauh.

Aku masuk teater karena punya masalah dengan kepercayaan diri. Bayangkan saja aku lulus dari SMA sebagai peringkat ke-39 dari 40 siswa sekelas di SMAN 1 Binjai jurusan IPS 3. Peringkat ke-40 tidak lulus. Artinya aku siswa dengan peringkat terakhir yang lulus. Kelasku IPS 3 juga bukan kelas bermutu. Anak-anal sosial yang dianggap berbakat sosial tentulah sudah memenuhi kelas IPS 1 dan IPS 2. Buruknya lagi, di ijazah, nilai matematikaku diganjar angka empat. Satu-satunya lulusan SMAN 1 Binjai yang punya angka empat di ijazahnya. Klop sudah. Aku betul-betul merasa menjadi manusia terdungu.
Lantaran pengetahuan teramat minim, aku lebih banyak main tebak saja ketika uji masuk USU dilakukan. Saat tes matematika, aku bahkan hampir tak membaca soal yang diajukan. Tetapi ilmu tebak-tebakanku berhasil. Aku diterima di USU.

Mengapa aku masuk Sastra Indonesia ada juga hubungannya dengan kegemaranku membaca. Aku membaca mulai karya Chin Yung dan Khu Lung (aku kurang suka Khopingho) hingga Arjuna Sasrabahu sampai Pandawa Seda. Dulu aku hafal mati kisah kelahiran Bhisma (leluhur Pandawa-Kurawa) hingga diangkatnya Parikesit sebagai raja sepeninggalan Pandawa. Tetapi yang betul-betul menohokku adalah Gola Gong. Aku betul-betul merasa ditampar karena Gege (panggilan Gola Gong) yang cuma punya satu tangan itu bisa menulis banyak buku. Egoku merasa luka, kenapa orang sehat seperti aku tidak bisa seperti Gege? Padahal Gege juga bukan pelajar teladan semasa sekolah.

Begitu masuk teater, aku segera terkenang saat masuk sasana tinju ketika masih kelas 2 SMP. Fisikku betul-betul dibantai. Bedanya jika di sasana aku dilarang memukul sansak apalagi sparing partner lantaran pelatih menganggapku masih terlalu muda maka di teater aku seperti dipaksa menjadi atlet profesional. Lari, push up dengan tangan terkepal, dan sit up di lantai semen jadi makanan hampir setiap hari. Sastra Maulud, seniorku (mahasiswa bahasa Arab angkatan 1986, kini karyawan di PD Pasar Medan) betul-betul membuat kami seperti berada di kamp militer. Anehnya, aku sangat menikmati.
Sebulan latihan teater, kami mulai merasa ada perbaikan. Aku mulai banyak makan dan mengurangi rokok. Lalu datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Memberikan nama bagi teater kami pada 1 Oktober 1991.

Sebagai basa-basi politik para senior kampus meminta kami untuk mengusulkan nama yang dianggap bagus. Aku dan Agus Mulia mengusulkan nama Rajawali karena ada lagu Iwan Fals yang judulnya Rajawali. Menurutku, Rajawali itu nama yang pas karena lambang negara kita pun rajawali (cuma diberi nama garuda agar lebih bernilai sastra). Tetapi nama itu ditolak beramai-ramai oleh hampir seluruh anggota teater. Kalah suara, kami segera berkoalisi dengan Rahmat Efendi Siregar yang menawarkan nama Gita Nyali artinya tembang keberanian. Nama itu pun ditolak. Alasannya, itu sudah jadi judul kumpulan puisi Gitanjali-nya Rabindranath Tagore (sastrawan pemenang Nobel). Ternyata alasan itu memang mereka cari-cari saja. Kelompok senior sudah menyiapkan sebuah nama yakni “O”. Tentu saja kami memerotes nama itu. Lambang “O” bukanlah lambang yang mudah ditafsirkan. Belum lagi secara visual ”O” akan terlihat konyol karena meski bisa diartikan “baru mengetahui sesuatu” tetapi bisa juga dibaca “0” (baca: nol) alias kosong. Nol berarti nihil atau tidak berarti sama sekali.

“Biar saja. Biar masyarakat yang menilai kita bakal seperti apa. Apakah mereka akan mengatakan ‘o’ karena ‘tahu maksudnya’ atau malah menganggap ‘0’ (baca: nol). Biarkan mereka yang menilai Aku memang ingin agar teater kita ditafsirkan beragam. Biarkan mereka menilai kita. Tugas kita hanya bermain teater sebaik-baiknya,” kata Yusrianto.

Lantas meski tetap tak puas dengan nama yang kupikir tolol itu, tetap saja aku menyetujuinya karena dalam pemungutan suara kami kalah telak. Rajawali hanya didukung dua suara: aku dan Agus. Sementara Gita Nyali hanya didukung sekitar lima suara, meski kami sudah berkoalisi.

Para penggagas pendirian Teater O diantaranya Agus Bambang Hermanto (kini staf balai bahasa di Medan), Sastra Maulud, Ibrahim Sembiring (kini staf Balai Bahasa di Aceh), Yos Rizal (kini dosen FS USU)… ternyata tidak main-main dengan Teater O. Mereka menggandeng salah satu teaterwan Sumut yang paling cerdas, almarhum Buoy Hardjo (meninggal karena sakit di Malaysia, 2002).

Buoy adalah anak Taguan Hardjo pelukis sekaligus pengarang komik Musang Berjanggut. Buoy dibesarkan dalam lingkungan dan sangat mencintai kesenian. Saat itu ia tercatat sebagai redaktur budaya di Harian Analisa, Medan.

Berdasarkan catatan D Rifai Harahap, Buoy merupakan salah satu anggota Teater Nasional. Teater yang pernah jadi terbaik di Sumatera Utara itu didirikan Burhan Piliang, Sori Siregar, Mazwad Azham, Isqak S, dan Rusli Maha di kediaman Taguan Hardjo, tahun 1963.

Buoy pernah cerita, ia lama berguru pada dedengkot teater Arifin C Noor. Ia pun pernah mendirikan teater bersama Dorman Borisman di Jakarta. Pulang ke Medan, ia menjadi wartawan dan beraktifitas di Teater Nasional. Sayang, Teater Nasional lama vakum hingga Buoy fokus pada dunia jurnalistik. Tentu semangatnya untuk berteater tak pernah hilang hingga ia menyambut sangat gembira ketika diminta melatih kami, mahasiswa baru yang tak pernah kenal teater.

Pembagian tugas antara para senior di kampus dengan Buoy Hardjo jelas. Para senior menggembleng fisik kami habis-habisan sementara tugas Bouy adalah menempa psikis kami hingga kami benar-benar mampu menjadi teaterwan terutama aktor yang baik. Gilanya, Buoy tidak meminta imbalan apa pun untuk tugas mahaberat itu. Baginya, merupakan kebanggaan diminta menyalurkan ilmu kepada para mahasiswa.

Mengenal Buoy seperti mengenal kehidupan. Ia melatih tiga kali seminggu. Ia guru yang baik. Setiap melatih, ia betul-betul membuat kami dicerahkan. Ia tidak sedang menciptakan aktor tetapi membuat kami menjelma. Jika ada yang berperan sebagai orang gila maka orang itu harus gila dalam arti sebenarnya bukan pura-pura gila. Tentu saja semula arahannya kami anggap gila hingga kemudian kami paham Deddy Mizwar bukanlah aktor tetapi mantan pencopet yang jadi jenderal dalam Naga Bonar (belakangan aku tahu, tokoh Naga Bonar adalah almarhum Kolonel Bejo yang terkenal dalam pertempuran Medan Area akhir 1945), sementara Ray Sahetapy adalah petinju dalam Opera Jakarta (Ray berlatih tinju sekitar setengah tahun sebelum berperan).

Di sisi lain, Buoy juga mengajarkan tentang dunia penulisan, demokrasi, hingga perpolitikan di tanah air Ia sering bercerita tentang esensi kemanusiaan. Ia pernah lama cerita panjang kepadaku tentang ayahnya yang membuat sebuah komik bergambar bertema “roda”. Komik itu berlatarbelakang usai perang dunia ketiga. Manusia-manusia yang selamat dari perang—belajar dari pengalaman—tak mau lagi mengenal teknologi. Buku suci dibuat agar manusia tidak boleh lagi berpikir. Demikian berlangsung berabad-abad. Hingga seorang pemuda membuat sebuah roda. Para tetua adat kemudian memutuskan menghukum mati lelaki itu dan memusnahkan roda temuannya. Mereka beranggapan, roda yang ditemukan pemuda itu adalah awal teknologi yang akan membuat generasi penerus kembali melakukan kanibalisasi seperti perang dunia ketiga yang dikisahkan dalam buku suci.

Sebagai seorang realis, Buoy mengatakan naskah itu terlalu mengada-ada tetapi ia suka dengan temanya dan berencana mengadaptasinya menjadi sebuah naskah drama.

Buoy membuatku takjub dengan sebuah imajinasi luar biasa mengenai manusia. Dihancurkan teknologi kemudian menjadi antipati pada pikiran. Manusia yang tak ingin sebuah kehancuran terulang, anehnnya malah menghancurkan kehidupan seorang manusia yang terlahir memiliki otak untuk berpikir. Lewat komiknya, seorang seniman (dalam hal ini Taguan Hardjo) ternyata begitu liar menghantam kiri kanan.
Sejak saat itu, aku belajar menulis.

Akhir 1991, Teater O menggelar sebuah pertunjukan di kampus yang diberi nama “jamuan Jembalang”. Jembalang dalam bahasa Melayu berarti roh para leluhur. Konsep pertunjukan “teater jalanan”. Artinya dipentaskan tanpa panggung dan mengikutsertakan sebanyak mungkin penonton. Pertunjukan murni improvisasi. Hanya dibikin garis besar, seorang mahasiswa (kebetulan aku yang diminta memerankan) kesurupan jembalang. Para mahasiswa (yang bukan anggota teater) diminta ikut berdoa agar aku pulih dari kesurupan. Sementara anggota Teater “O” lainnya menggelar jamuan dengan terus membakar dupa dan menabur bebungaan.

Pertunjukan digelar saat dupa dibakar. Ketika asap semakin tebal, kami pun menari sesuka hati. Lantas aku (pura-pura) terjatuh dan kejang-kejang. Kawan-kawan kemudian mengangkatku, menyiramkan air, bertanya macam-macam, dan aku pun terus mengerang dalam kekejangan. Anggota teater kemudian membawaku berkeliling kampus; masuk dari satu lokal ke lokal lain minta pertolongan. Ketika bebungaan semakin banyak ditaburkan, aku dibawa ke panggung terbuka di tengah fakultas. Lantas pelan-pelan tersadar.

Aku tak pernah tahu, bahwa pertunjukan yang kuanggap main-main ternyata menyihir begitu banyak mahasiswa. Seorang mahasiswa bernama Imelda bahkan tidak tahu itu semua hanya drama hingga ia menikah denganku, hampir sembilan tahun kemudian.

Usai pertunjukan jembalang-jembalangan itu, para anggota teater yang senior mulai unjuk gigi dengan membacakan puisi. Ada yang santai; ada yang kalem; tetapi ada juga yang menjerit-jerit. Mukhlise dan Agus pun mulai pamer diri. Aku juga ingin tampil. Tetapi membacakan puisi siapa? Seluruh kawanku membacakan puisi mereka sendiri.

Hujan mulai turun. Kawan-kawan makin bersemangat. Bahkan mulai banyak yang membuka baju agar penampilan terlihat makin liar saat badan kekar dan rambut panjang tersibak angin dan basah dihantam hujan. Aku masih diam.

Akhirnya, gemuruh dadaku tak tahan lagi meminta kemerdekaan. Aku pun melepas baju lantas (mencoba) bersajak.

Inilah bunyinya:

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (baca: ucapkan kelamin dalam berbagai bahasa daerah)
Berbedabeda tetapi itu-itu juga
Ini sajak bhineka tunggal ika

Lantas aku melihat kebebasan dan kemerdekaan itu. Para seniorku tertawa; kawan-kawanku terbahak; para mahasiswa (terutama perempuan) yang berlalu-lalang cengar-cengir menahan geli. Tidak seorang pun yang memakiku; tidak seorang pun yang menghujatku.

Sejak saat itu aku tahu, Teater O telah menempaku menjadi manusia baru.
Sejak saat itu aku tahu, Teater O adalah sebuah bengkel demokrasi yang tak pernah mati.

Ditulis sebagai penghormatan untuk Teater O USU sekaligus menyambut Hari Teater Sedunia yang jatuh setiap 27 Maret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar