Selasa, 28 Juni 2011

Sentuhan Teatearikal pada Monolog Safta Hadi Teater O USU Oleh Yulhasni

Pentas monolog Safta Hadi di Ruang Pagelaran Fakultas Sastra USU, Rabu (19/8) sore sejatinya adalah pertunjukan kualitas keaktoran. Sebagai pelakon di Teater ‘O’ USU, Safta Hadi berhasil memainkan naskah Michael Sang Pencabut Nyawa (MSPN) karya Agus Mulia dengan sentuhan-sentuhan teaterikal yang memukau. Meski di akhir pertunjukan ia kurang begitu kuat mengakhiri peran, tapi pentas yang disutradrai Mukhlis Win Ariyoga itu mampu memukau penonton. Safta Hadi kemudian lahir sebagai satu contoh keseriusan mencari bentuk teater individu. Sayang memang, naskah Michael Sang Pencabut Nyawa lemah di ending dan tidak memberi ruang bagi sang aktor untuk lebih bermain dari satu bingkai ke bingkai yang lain. Alhasil, Safta Hadi lelah dalam kesendiriannya. Yang dipersaksikan kemudian khotbah-khotbah teks drama.

Naskah ini bercerita tentang seseorang (pengusaha?) bernama Alex Wardoyo yang sibuk dengan aktifitas kesehariannya. Pengusaha ini tiap saat dihantui pelbagai telepon yang masuk, mulai dari anak buah yang minta tambahan dana operasional, pejabat yang hendak minta, istri yang usil sampai satu paket yang membuat ia harus memutar otak memecahkan isinya. Tokoh harus berusaha menebak isi paket yang ada di atas mejanya. Apakah itu kiriman uang, tapi ia mengaku tak pernah menerima upeti. Apakah narkoba, tapi tokoh kita adalah pemain lama dan bisa mencium jenis dan barang haram itu. Bom? Dalam ketakutan, paket itu hanya lelucon kecil dari Michael sang pengirim paket. Satu bingkisan berisi petasan. Cerita naskah ini sederhana karena hanya tentang fakta keseharian kebanyakan pengusaha di negeri ini. Di akhir cerita, Alex Wardoyo meninggal mendadak karena tak kuasa menahan tekanan hidup yang menghantuinya.

Naskah ini ditulis Agus Mulia dalam rentang waktu yang singkat. Saya bahkan masih sempat melihat dia menambah beberapa petikan dialog untuk kesempurnaan di saat Safta Hadi diberi sentuhan-sentuhan teatrikal oleh sutradara Mukhlis Win Ariyoga. Tapi itu bukan satu alasan jika kemudian naskah ini masih lemah dalam usaha membangun kekuatan aktor. Michael Sang Pencabut Nyawa, tidak memiliki ending yang menyentak. Tidak diperjelas siapakah sebenarnya si Michael ini? Plesetan dari malaikat Mikail dalam agama Islam yang memang bertugas mencabut nyawa manusia? Atau sosok tokoh misteri yang sengaja dimunculkan untuk membuat tokoh utama Alex Wardoyo mati dalam ketakutan dan teka-teki yang tidak berujung?

Naskah ini kuat dalam membangun alur cerita, tapi lemah dalam penyelesaian. Cara-cara Alex Wardoyo mati tidak diperkuat dengan satu kepastian alasan. Alhasil, naskah ini harus banyak diperbaiki dalam teks-teks yang lebih mencari bentuk ending cerita. Idealnya memang tidak ada defenisi ideal sebuah naskah disebut monolog. Akan tetapi, pada banyak literatur dan pentas yang muncul, monolog hanya permainan aktor dengan karakter yang berbeda-beda. Aktor dituntut memainkan tidak satu tokoh. Naskah karya Agus Mulia ini memang tidak menyedian peran lain bagi sang aktor. Ia hanya fokus pada satu tokoh. Kekuatiran yang akan muncul, pada jenis naskah seperti ini, aktor akan jadi pengkhotbah panggung dalam menerjemahkan teks.

Mementaskan monolog dengan naskah padat bukanlah pekerjaan mudah bagi aktor yang hampa visi akan keaktoran. Tuntutan untuk mengolah intonasi, gestur, penjiwaan teks yang terus terfokuskan pada satu orang dia atas panggung jelas hanya bisa dipercayakan pada aktor nekat. Menguasai naskah dibedakan dengan menghapal laporan atau tulisan yang ditujukan untuk dibaca. Naskah drama sepenuhnya ditulis demi pementasan yang pada akhirnya akan menentukan nasib naskah itu sendiri. Pada level ini, Safta Hadi tentu tidak sedang nekat memainkan naskah Agus Mulia. Meski ia menyadari bahwa ia bermain dalam kesendirian, tapi ia tidak larut. Safta Hadi secara keseluruhan berhasil menjaga ritme permainnya. Ia bahkan dengan begitu mengasyikkan mampu memanfaatkan properti panggung yang dipasang asal letak itu. Foto-foto yang berserakan dan sejumlah properti yang tidak membangun setting cerita yang jelas.

Naskah monolog sepenuhnya memang ditulis untuk pementasan yang pada muaranya akan menentukan nasib naskah itu sendiri. Safta Hadi berusaha menerjemahkan naskah dengan alur dan kerangka lakon yang mirip partitur dengan kemungkinan penafsiran musik. Pada pembuka, lirik lagu Iwan Fals dengan sentuhan musik yang dimainkan Rudolf dan Awaluddin selaku penata musik sedikitnya mengajak penonton merasakan getaran-getaran secara langsung pada notasi-notasi yang mengalir. Tapi sayang, itu hanya muncul di awal dan di akhir pertunjukan. Padahal, jika saja musik bermain untuk lebih mengisi alur cerita, Safta Hadi tidak harus terengah-engah menjaga ritme pertunjukannya.

Bahasa keaktoran Safta Hadi memantul ke dalam personalitas sebagai pemain di atas pentas. Ia mungkin kesulitan untuk menilai naskah seperti ini : apakah ada ruang untuk menunjukkan karakter berbeda selain hanya sebagai seorang pengusaha bernama Alex Wardoyo. Di sini sebenarnya Agus Mulia si penulis naskah sama sekali menghilangkan satu kewajiban monolog yakni memberi ruang bagi aktor menjadi orang lain. Dalam naskah, sama sekali tidak ada momen yang bisa diperuntukkan bagi sang aktor.

Sebagai sebuah pentas monolog, maka tubuh sang aktor adalah media utama. Tubuh mengundang persepsi audiens untuk mempertanyakan kedudukan sang aktor di atas panggung. Safta Hadi memiliki kekuatan tubuh untuk mengajak audiens memahami jalan pikirannya. Kelenturan di atas panggung dimainkan dengan garis-garis yang tegas. Safta Hadi mampu mengatasi kelemahan naskah dengan mempermaikan panggung dengan seindah mungkin meski ia semestinya tidak harus memaksakan diri dengan simbol-simbol di tubuhnya. Irama permainan menjadi terganggung manakala properti yang melekat di tubuh sang aktor jadi batu sandungan setiap gerak tubuh hendak dipertontonkan.

Ada beberapa resiko dalam memainkan naskah monolog. Diantaranya, kemungkinan penonton tidak dapat merasakan muatan naskah ( pesan, alegori, dan struktur) apabila aktor hanya keranjingan untuk menampilkan individualitas dari sisi permukaan. Kecenderungan ini sepintas kelihatan wajar, karena monolog bisa dikatakan sebagai pentahbisan seorang aktor. Yang menjadi masalah, keinginan mengekspresikan diri tanpa melihat kedalaman karakter tokoh yang sebenarnya menjadi substansi monolog dapat terkesampingkan. Jadilah pementasan itu sekedar panggung dengan seorang cerewet di atasnya yang cuma tertarik dengan ocehannya sendiri. Safta Hadi nyaris melakukan hal ini karena tidak ada ruang baginya untuk lebih mencapai titik-titik lain daripada memainkan karakter satu tokoh.

Secara kualitas keaktoran, pada pertunjukan monolog kali ini, Safta Hadi pantas mendapat tempat di beberapa pentolan monologis Sumatera Utara dengan catatan penting ia harus memainkan sekian peran dalam satu pentas monolog yang lain. Diperlukan naskah kuat dan latihan ekstra agar sampai pada satu pencapaian yang estetis. Seandainya saja monolog Safta Hadi dikemas dalam sebuah manajemen yang lebih profesional, boleh jadi pertunjukan berdurasi 1 jam tersebut lebih tersebut akan menjadi tontonan yang menarik.
Penulis adalah penikmat teatear dan Dosen Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar