(Sebuah Ironi Panggung Realis Kampus Sastra USU)
Dalam benak kita hari ini tentu akan terlintas bayang-bayang masa lalu tentang kegemilangan pertunjukan teater di Sumut, meski saya kadang menganggap bayang-bayang itu hanyalah kamuflase sejarah kebenaran. Kegemilangan itu hanya dikenang oleh orang-orang yang merasa berjasa meletakkan dasar perteateran Sumatera Utara. Selanjutnya, inilah yang kini kita tonton di panggung-panggung teater Sumut kegairahan yang semu. Itu bisa dilihat dari betapa banyaknya pagelaran teater yang digiring ke panggung-panggung kesenian di Medan ini, tapi berapa banyak pula yang menyatakan gagal meski hanya dengan berkata : lumayanlah!Nah, kegagalan itu sudah dimulai di kampus-kampus, tidak terkecuali Fakultas Sastra USU, ketika sebagian besar mahasiswa sastra (Sastra Indonesia, Sastra Daerah dan Sastra Inggris), berpaling dari dunia teater. Berpaling dalam artian tidak hanya sekedar tidak bergabung, tapi sama sekali kegairahan untuk mendalami dunia teater, nyaris tidak terdengar.
Sebagai bahan perenungan, di awal 90-an, terutama tahun 1991, panggung teater kampus sastra USU adalah milik anak-anak sastra Indonesia . Nah di periode itu pula, sejarah teater, aktor teater, aliran teater sampai praktik teater kemudian menjadi kehidupan keseharian anak-anak sastra Indonesia . Kegairahan itu bertahan hingga di tahun 1995. Setelah itu, anak-anak sastra Indonesia pun hilang dari kancah perteateran kampus. ðKeredupan itu pun seiring dengan ketidakpedulian institusi (dosen dan pengambil kebijakan di jurusan) untuk memperhatikan nasib kesastraan di tingkat mahasiswanya. Dalam kondisi seperti itu, mungkin pertanyaan yang paling mendasar sekarang adalah : apakah mahasiswa sastra Indonesia mengetahui sejarah perkembangan teater di Indonesia , terutama di tahun 90-an, selain hanya mengkonsumsi sejumlah literatur klasik karangan Jakob Sumardjo, Saini KM atau Boen S Omardjati. Atau lebih ekstrimnya, apakah mahasiswa Sastra Indonesia mengetahui perkembangan teater di Sumatera Utara, minimal kota Medan . Pertanyaan mendasar ini akan menjawab, sudah sejauh mana mata kuliah Kajian Drama Indonesia (KDI) yang 4 SKS itu menuntaskan pengetahuan teater mahasiswa sastra Indonesia . Saya tidak akan bicara sejarah perteateran secara nasional, karena itu sudah begitu gamblang dicata oleh Jako Sumardjo dalam bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia terbitan Citra Aditya Bakti, 1992.Kita hanya perlu sedikit mengetahui bahwa teater di Sumut berada antara pentas kesenian di pelbagai rumah kaca sudah begitu booming dengan realita bahwa masih ada orang yang percaya dengan dunia panggung ini. Padahal dalam kondisi demikian, apalagi yang bisa diadu? Adu aktor dan aktris pendukung, panggung teater jelas kalah segalanya. Adu naskah, bisalah perbandingannya 50:50. Adu penonton, tidak bisa kita ukur. Adu iklan, tidak akan pernah teater mencapainya.Teater hanya bisa memajang spanduk ucapan selamat mentas Realita itu adalah bagian terkecil yang sebenarnya juga tidak layak kita perbandingkan. Tapi kondisi itu bisa saja kemudian direnungkan untuk mencari celah paling kecil ke masyarakat penonton agar teater bisa diterima.Tapi upaya itu juga tidak bisa mencapai hasil maksimal karena panggung teater yang dipahami hanyalah pada batasan lampu, kostum, make up, dan naskah. Teater tidak diartikan dalam spectrum yang luas dimana masyarakat bisa menemukan keinginan mereka di panggung teater. Semestinya teater menyediakan banyak ruang untuk apresiasi kehidupan social. Hanya saja, wajah teater kita di daerah ini dari waktu ke waktu tetap tidak pernah mau menyentuh realitas sosial masyarakat yang sesungguhnya. Pekerja teater kita malu-malu untuk menjadi martir bagi perubahan sosial ada lingkup yang paling kecil sekalipun.
Dalam kondisi itulah keberadaan teater kampus menjadi tumpuan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi seperti yang kita saksikan sekarang, terutama di komunitas Teater ‘O’. Di lembaga ini, praktis hanya berhimpun mahasiswa yang senang teater, tanpa memiliki pengetahuan dasar tentang dunia teater itu sendiri. Mereka memperoleh pengetahuan dasar teater tanpa bisa menjelaskan sejarah, aktor, dan pelbagai elemen teater itu sendiri. Tapi perjalanan waktulah yang akhirnya membuat mereka lambat laun juga memperoleh pengetahuan dasar teater. Interaksi dengan pelbagai grup teater, diskusi rutin hingga ‘ngomong-ngomong kedai kopi’ kadang menambah wawasan tentang dunia teater. Alhasil, mahasiswa ekonomi, politik hingga seorang guru sekolah taman kanak-kanak (TK) sedikit banyaknya mengetahui sejarah perkembangan teater modern Indonesia .
Bagaimana dengan mahasiswa sastra yang waktunya habis menguliti dunia sastra? Mahasiswa sastra yang setiap haris berhadapan dengan disiplin ilmu kesastraan, nyaris hanya jadi penonton setia dari hangar-bingar panggung teater yang digarap kawan-kawan di kampus Sastra USU. Ironi inilah yang sebenarnya jadi panggung terater realis kampus sastra USU. Bukan hanya panggung teater, kegiatan kesastraan yang menjadi cermin aplikasi mahasiswa sastra terhadap ilmu yang mereka pelajari, sampai sekarang nyaris tidak terdengar. Mahasiswa Sastra Indonesia tidak lagi mampu menulis puisi, cerpen, esai sastra ke pelbagai suratkabar yang ada di Medan ini. Padahal di tahun 80-an hingga 90-an, bicara soal sastra tanpa melibatkan anak-anak sastra FS USU sama artinya ‘bicara ngawur’.
Mahasiswa memang tidak disiapkan untuk jadi aktor panggung yang brilian. Mahasiswa pun tidak disiapkan untuk jadi penyair, novelis, cerpenis ataupun gelar-gelar bangsawan dalam disiplin ilmu sastra lainnya. Akan tetapi, mahasiswa tidak bisa begitu saja mengelak pertanggungjawaban bahwa di pundak merekalah maju mundurnya dunia kesusastraan ini bergantung. Maka ketika mahasiswa sastra (Indonesia ) hanya mengandalkan teks-teks yang setiap hari diajarkan oleh para dictator (dosen yang mengandalkan diktat), maka pengetahuan mereka tentang sastra pun terhenti sampai di situ. Karena sejalan dengan perkembangan kebudayaan, maka sastra pun mengikutinya, tidak terkecuali dunia panggung teater.
Teks-teks dalam diktat dosen sepanjang sejarah saya kuliah, tidak akan mau berinteraksi dengan informasi aktual dari perkembangan sastra. Maka tidak heran jika dalam satu kesempatan ketika saya mengikuti ujian akhir sarjana dengan mengusung ide postmodernisme dalam sastra, salah seorang dosen senior Sastra Indonesia tidak mengetahuinya sama sekali. Ini sebuah ironi yang hingga sekarang masih menjadi catatan tersendiri bagi saya. Dosen selalu bergantung kepada buku-buku sastra ‘kuno’ karena enggan dan mungkin juga malas membeli buku-buku terbaru sastra itu sendiri.
Realita itulah yang sekarang dihadapi mahasiswa Sastra Indonesia . Di tengah kondisi itu, tidak ada jalan lain selain belajar secara otodidak. Mencari informasi perkembangan kesastraan di pelbagai buku, majalah dan koran, mau tidak mau harus disentuh mahasiswa Sastra Indonesia , jika tidak mau disebut katak di bawah tempurung.
Tulisan ini dibuat untuk Diskusi Mingguan KBSI Fakultas Sastra USU, Kamis 12 Mei 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar