teater 'O' usu
'hadir dan ada bukan sekedar datang dan bernafas'
Selasa, 28 Juni 2011
Mahasiswa, Teater dan Dunia Kesastraan di USU oleh Yulhasni
(Sebuah Ironi Panggung Realis Kampus Sastra USU)
Dalam benak kita hari ini tentu akan terlintas bayang-bayang masa lalu tentang kegemilangan pertunjukan teater di Sumut, meski saya kadang menganggap bayang-bayang itu hanyalah kamuflase sejarah kebenaran. Kegemilangan itu hanya dikenang oleh orang-orang yang merasa berjasa meletakkan dasar perteateran Sumatera Utara. Selanjutnya, inilah yang kini kita tonton di panggung-panggung teater Sumut kegairahan yang semu. Itu bisa dilihat dari betapa banyaknya pagelaran teater yang digiring ke panggung-panggung kesenian di Medan ini, tapi berapa banyak pula yang menyatakan gagal meski hanya dengan berkata : lumayanlah!Nah, kegagalan itu sudah dimulai di kampus-kampus, tidak terkecuali Fakultas Sastra USU, ketika sebagian besar mahasiswa sastra (Sastra Indonesia, Sastra Daerah dan Sastra Inggris), berpaling dari dunia teater. Berpaling dalam artian tidak hanya sekedar tidak bergabung, tapi sama sekali kegairahan untuk mendalami dunia teater, nyaris tidak terdengar.
Sebagai bahan perenungan, di awal 90-an, terutama tahun 1991, panggung teater kampus sastra USU adalah milik anak-anak sastra Indonesia . Nah di periode itu pula, sejarah teater, aktor teater, aliran teater sampai praktik teater kemudian menjadi kehidupan keseharian anak-anak sastra Indonesia . Kegairahan itu bertahan hingga di tahun 1995. Setelah itu, anak-anak sastra Indonesia pun hilang dari kancah perteateran kampus. ðKeredupan itu pun seiring dengan ketidakpedulian institusi (dosen dan pengambil kebijakan di jurusan) untuk memperhatikan nasib kesastraan di tingkat mahasiswanya. Dalam kondisi seperti itu, mungkin pertanyaan yang paling mendasar sekarang adalah : apakah mahasiswa sastra Indonesia mengetahui sejarah perkembangan teater di Indonesia , terutama di tahun 90-an, selain hanya mengkonsumsi sejumlah literatur klasik karangan Jakob Sumardjo, Saini KM atau Boen S Omardjati. Atau lebih ekstrimnya, apakah mahasiswa Sastra Indonesia mengetahui perkembangan teater di Sumatera Utara, minimal kota Medan . Pertanyaan mendasar ini akan menjawab, sudah sejauh mana mata kuliah Kajian Drama Indonesia (KDI) yang 4 SKS itu menuntaskan pengetahuan teater mahasiswa sastra Indonesia . Saya tidak akan bicara sejarah perteateran secara nasional, karena itu sudah begitu gamblang dicata oleh Jako Sumardjo dalam bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia terbitan Citra Aditya Bakti, 1992.Kita hanya perlu sedikit mengetahui bahwa teater di Sumut berada antara pentas kesenian di pelbagai rumah kaca sudah begitu booming dengan realita bahwa masih ada orang yang percaya dengan dunia panggung ini. Padahal dalam kondisi demikian, apalagi yang bisa diadu? Adu aktor dan aktris pendukung, panggung teater jelas kalah segalanya. Adu naskah, bisalah perbandingannya 50:50. Adu penonton, tidak bisa kita ukur. Adu iklan, tidak akan pernah teater mencapainya.Teater hanya bisa memajang spanduk ucapan selamat mentas Realita itu adalah bagian terkecil yang sebenarnya juga tidak layak kita perbandingkan. Tapi kondisi itu bisa saja kemudian direnungkan untuk mencari celah paling kecil ke masyarakat penonton agar teater bisa diterima.Tapi upaya itu juga tidak bisa mencapai hasil maksimal karena panggung teater yang dipahami hanyalah pada batasan lampu, kostum, make up, dan naskah. Teater tidak diartikan dalam spectrum yang luas dimana masyarakat bisa menemukan keinginan mereka di panggung teater. Semestinya teater menyediakan banyak ruang untuk apresiasi kehidupan social. Hanya saja, wajah teater kita di daerah ini dari waktu ke waktu tetap tidak pernah mau menyentuh realitas sosial masyarakat yang sesungguhnya. Pekerja teater kita malu-malu untuk menjadi martir bagi perubahan sosial ada lingkup yang paling kecil sekalipun.
Dalam kondisi itulah keberadaan teater kampus menjadi tumpuan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi seperti yang kita saksikan sekarang, terutama di komunitas Teater ‘O’. Di lembaga ini, praktis hanya berhimpun mahasiswa yang senang teater, tanpa memiliki pengetahuan dasar tentang dunia teater itu sendiri. Mereka memperoleh pengetahuan dasar teater tanpa bisa menjelaskan sejarah, aktor, dan pelbagai elemen teater itu sendiri. Tapi perjalanan waktulah yang akhirnya membuat mereka lambat laun juga memperoleh pengetahuan dasar teater. Interaksi dengan pelbagai grup teater, diskusi rutin hingga ‘ngomong-ngomong kedai kopi’ kadang menambah wawasan tentang dunia teater. Alhasil, mahasiswa ekonomi, politik hingga seorang guru sekolah taman kanak-kanak (TK) sedikit banyaknya mengetahui sejarah perkembangan teater modern Indonesia .
Bagaimana dengan mahasiswa sastra yang waktunya habis menguliti dunia sastra? Mahasiswa sastra yang setiap haris berhadapan dengan disiplin ilmu kesastraan, nyaris hanya jadi penonton setia dari hangar-bingar panggung teater yang digarap kawan-kawan di kampus Sastra USU. Ironi inilah yang sebenarnya jadi panggung terater realis kampus sastra USU. Bukan hanya panggung teater, kegiatan kesastraan yang menjadi cermin aplikasi mahasiswa sastra terhadap ilmu yang mereka pelajari, sampai sekarang nyaris tidak terdengar. Mahasiswa Sastra Indonesia tidak lagi mampu menulis puisi, cerpen, esai sastra ke pelbagai suratkabar yang ada di Medan ini. Padahal di tahun 80-an hingga 90-an, bicara soal sastra tanpa melibatkan anak-anak sastra FS USU sama artinya ‘bicara ngawur’.
Mahasiswa memang tidak disiapkan untuk jadi aktor panggung yang brilian. Mahasiswa pun tidak disiapkan untuk jadi penyair, novelis, cerpenis ataupun gelar-gelar bangsawan dalam disiplin ilmu sastra lainnya. Akan tetapi, mahasiswa tidak bisa begitu saja mengelak pertanggungjawaban bahwa di pundak merekalah maju mundurnya dunia kesusastraan ini bergantung. Maka ketika mahasiswa sastra (Indonesia ) hanya mengandalkan teks-teks yang setiap hari diajarkan oleh para dictator (dosen yang mengandalkan diktat), maka pengetahuan mereka tentang sastra pun terhenti sampai di situ. Karena sejalan dengan perkembangan kebudayaan, maka sastra pun mengikutinya, tidak terkecuali dunia panggung teater.
Teks-teks dalam diktat dosen sepanjang sejarah saya kuliah, tidak akan mau berinteraksi dengan informasi aktual dari perkembangan sastra. Maka tidak heran jika dalam satu kesempatan ketika saya mengikuti ujian akhir sarjana dengan mengusung ide postmodernisme dalam sastra, salah seorang dosen senior Sastra Indonesia tidak mengetahuinya sama sekali. Ini sebuah ironi yang hingga sekarang masih menjadi catatan tersendiri bagi saya. Dosen selalu bergantung kepada buku-buku sastra ‘kuno’ karena enggan dan mungkin juga malas membeli buku-buku terbaru sastra itu sendiri.
Realita itulah yang sekarang dihadapi mahasiswa Sastra Indonesia . Di tengah kondisi itu, tidak ada jalan lain selain belajar secara otodidak. Mencari informasi perkembangan kesastraan di pelbagai buku, majalah dan koran, mau tidak mau harus disentuh mahasiswa Sastra Indonesia , jika tidak mau disebut katak di bawah tempurung.
Tulisan ini dibuat untuk Diskusi Mingguan KBSI Fakultas Sastra USU, Kamis 12 Mei 2005
Sentuhan Teatearikal pada Monolog Safta Hadi Teater O USU Oleh Yulhasni
Pentas monolog Safta Hadi di Ruang Pagelaran Fakultas Sastra USU, Rabu (19/8) sore sejatinya adalah pertunjukan kualitas keaktoran. Sebagai pelakon di Teater ‘O’ USU, Safta Hadi berhasil memainkan naskah Michael Sang Pencabut Nyawa (MSPN) karya Agus Mulia dengan sentuhan-sentuhan teaterikal yang memukau. Meski di akhir pertunjukan ia kurang begitu kuat mengakhiri peran, tapi pentas yang disutradrai Mukhlis Win Ariyoga itu mampu memukau penonton. Safta Hadi kemudian lahir sebagai satu contoh keseriusan mencari bentuk teater individu. Sayang memang, naskah Michael Sang Pencabut Nyawa lemah di ending dan tidak memberi ruang bagi sang aktor untuk lebih bermain dari satu bingkai ke bingkai yang lain. Alhasil, Safta Hadi lelah dalam kesendiriannya. Yang dipersaksikan kemudian khotbah-khotbah teks drama.
Naskah ini bercerita tentang seseorang (pengusaha?) bernama Alex Wardoyo yang sibuk dengan aktifitas kesehariannya. Pengusaha ini tiap saat dihantui pelbagai telepon yang masuk, mulai dari anak buah yang minta tambahan dana operasional, pejabat yang hendak minta, istri yang usil sampai satu paket yang membuat ia harus memutar otak memecahkan isinya. Tokoh harus berusaha menebak isi paket yang ada di atas mejanya. Apakah itu kiriman uang, tapi ia mengaku tak pernah menerima upeti. Apakah narkoba, tapi tokoh kita adalah pemain lama dan bisa mencium jenis dan barang haram itu. Bom? Dalam ketakutan, paket itu hanya lelucon kecil dari Michael sang pengirim paket. Satu bingkisan berisi petasan. Cerita naskah ini sederhana karena hanya tentang fakta keseharian kebanyakan pengusaha di negeri ini. Di akhir cerita, Alex Wardoyo meninggal mendadak karena tak kuasa menahan tekanan hidup yang menghantuinya.
Naskah ini ditulis Agus Mulia dalam rentang waktu yang singkat. Saya bahkan masih sempat melihat dia menambah beberapa petikan dialog untuk kesempurnaan di saat Safta Hadi diberi sentuhan-sentuhan teatrikal oleh sutradara Mukhlis Win Ariyoga. Tapi itu bukan satu alasan jika kemudian naskah ini masih lemah dalam usaha membangun kekuatan aktor. Michael Sang Pencabut Nyawa, tidak memiliki ending yang menyentak. Tidak diperjelas siapakah sebenarnya si Michael ini? Plesetan dari malaikat Mikail dalam agama Islam yang memang bertugas mencabut nyawa manusia? Atau sosok tokoh misteri yang sengaja dimunculkan untuk membuat tokoh utama Alex Wardoyo mati dalam ketakutan dan teka-teki yang tidak berujung?
Naskah ini kuat dalam membangun alur cerita, tapi lemah dalam penyelesaian. Cara-cara Alex Wardoyo mati tidak diperkuat dengan satu kepastian alasan. Alhasil, naskah ini harus banyak diperbaiki dalam teks-teks yang lebih mencari bentuk ending cerita. Idealnya memang tidak ada defenisi ideal sebuah naskah disebut monolog. Akan tetapi, pada banyak literatur dan pentas yang muncul, monolog hanya permainan aktor dengan karakter yang berbeda-beda. Aktor dituntut memainkan tidak satu tokoh. Naskah karya Agus Mulia ini memang tidak menyedian peran lain bagi sang aktor. Ia hanya fokus pada satu tokoh. Kekuatiran yang akan muncul, pada jenis naskah seperti ini, aktor akan jadi pengkhotbah panggung dalam menerjemahkan teks.
Mementaskan monolog dengan naskah padat bukanlah pekerjaan mudah bagi aktor yang hampa visi akan keaktoran. Tuntutan untuk mengolah intonasi, gestur, penjiwaan teks yang terus terfokuskan pada satu orang dia atas panggung jelas hanya bisa dipercayakan pada aktor nekat. Menguasai naskah dibedakan dengan menghapal laporan atau tulisan yang ditujukan untuk dibaca. Naskah drama sepenuhnya ditulis demi pementasan yang pada akhirnya akan menentukan nasib naskah itu sendiri. Pada level ini, Safta Hadi tentu tidak sedang nekat memainkan naskah Agus Mulia. Meski ia menyadari bahwa ia bermain dalam kesendirian, tapi ia tidak larut. Safta Hadi secara keseluruhan berhasil menjaga ritme permainnya. Ia bahkan dengan begitu mengasyikkan mampu memanfaatkan properti panggung yang dipasang asal letak itu. Foto-foto yang berserakan dan sejumlah properti yang tidak membangun setting cerita yang jelas.
Naskah monolog sepenuhnya memang ditulis untuk pementasan yang pada muaranya akan menentukan nasib naskah itu sendiri. Safta Hadi berusaha menerjemahkan naskah dengan alur dan kerangka lakon yang mirip partitur dengan kemungkinan penafsiran musik. Pada pembuka, lirik lagu Iwan Fals dengan sentuhan musik yang dimainkan Rudolf dan Awaluddin selaku penata musik sedikitnya mengajak penonton merasakan getaran-getaran secara langsung pada notasi-notasi yang mengalir. Tapi sayang, itu hanya muncul di awal dan di akhir pertunjukan. Padahal, jika saja musik bermain untuk lebih mengisi alur cerita, Safta Hadi tidak harus terengah-engah menjaga ritme pertunjukannya.
Bahasa keaktoran Safta Hadi memantul ke dalam personalitas sebagai pemain di atas pentas. Ia mungkin kesulitan untuk menilai naskah seperti ini : apakah ada ruang untuk menunjukkan karakter berbeda selain hanya sebagai seorang pengusaha bernama Alex Wardoyo. Di sini sebenarnya Agus Mulia si penulis naskah sama sekali menghilangkan satu kewajiban monolog yakni memberi ruang bagi aktor menjadi orang lain. Dalam naskah, sama sekali tidak ada momen yang bisa diperuntukkan bagi sang aktor.
Sebagai sebuah pentas monolog, maka tubuh sang aktor adalah media utama. Tubuh mengundang persepsi audiens untuk mempertanyakan kedudukan sang aktor di atas panggung. Safta Hadi memiliki kekuatan tubuh untuk mengajak audiens memahami jalan pikirannya. Kelenturan di atas panggung dimainkan dengan garis-garis yang tegas. Safta Hadi mampu mengatasi kelemahan naskah dengan mempermaikan panggung dengan seindah mungkin meski ia semestinya tidak harus memaksakan diri dengan simbol-simbol di tubuhnya. Irama permainan menjadi terganggung manakala properti yang melekat di tubuh sang aktor jadi batu sandungan setiap gerak tubuh hendak dipertontonkan.
Ada beberapa resiko dalam memainkan naskah monolog. Diantaranya, kemungkinan penonton tidak dapat merasakan muatan naskah ( pesan, alegori, dan struktur) apabila aktor hanya keranjingan untuk menampilkan individualitas dari sisi permukaan. Kecenderungan ini sepintas kelihatan wajar, karena monolog bisa dikatakan sebagai pentahbisan seorang aktor. Yang menjadi masalah, keinginan mengekspresikan diri tanpa melihat kedalaman karakter tokoh yang sebenarnya menjadi substansi monolog dapat terkesampingkan. Jadilah pementasan itu sekedar panggung dengan seorang cerewet di atasnya yang cuma tertarik dengan ocehannya sendiri. Safta Hadi nyaris melakukan hal ini karena tidak ada ruang baginya untuk lebih mencapai titik-titik lain daripada memainkan karakter satu tokoh.
Secara kualitas keaktoran, pada pertunjukan monolog kali ini, Safta Hadi pantas mendapat tempat di beberapa pentolan monologis Sumatera Utara dengan catatan penting ia harus memainkan sekian peran dalam satu pentas monolog yang lain. Diperlukan naskah kuat dan latihan ekstra agar sampai pada satu pencapaian yang estetis. Seandainya saja monolog Safta Hadi dikemas dalam sebuah manajemen yang lebih profesional, boleh jadi pertunjukan berdurasi 1 jam tersebut lebih tersebut akan menjadi tontonan yang menarik.
Penulis adalah penikmat teatear dan Dosen Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Teater ‘O’ USU 13 Tahun Setia dengan Lakon Komedi oleh Yulhasni
Teater Koma di Jakarta mungkin identik dengan lakon komedi dan mungkin juga penonton harus rela antrian untuk mendapatkan tiket pertunjukan. Itu Jakarta, pusat segala bentuk aktivitas seni dan budaya mendapatkan respon dan pemberitaan yang luar biasa. Di ujung Sumatera, tepatnya di Kampus Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU), Teater ‘O’ USU masih eksis manggung dalam lakon komedi selama lebih dari 13 tahun (grup ini berdiri pada 1 Oktober 1991). Dan uniknya lagi, mereka tidak pernah beranjak manggung dari Gelanggang Mahasiswa USU. Dalam catatan yang penulis peroleh, grup ini tercatat hanya tiga kali manggung di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) dibanding 40 produksi pementasan yang telah mereka lakoni. Tiga kali manggung itu pun dalam status undangan pengelola TBSU.
Grup ini didirikan di Kampus Sastra USU, 1 Oktober 1991 oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra USU. Hingga sekarang, satu-satunya grup teater mahasiswa di universitas ternama di Medan ini, sudah memiliki lebih kurang 500 anggota. Kenapa Teater ‘O’ tetap setia dengan lakon komedi hingga sekarang? Drs Yusrianto Nasution, salah seorang pendiri grup ini mengatakan mereka memilih langkah itu karena sejumlah grup teater di Sumut, khususnya di Medan , selalu berpindah-pindah haluan dalam penggarapan. Kata Yusrianto, sikap seperti itu akan menjauhkan grup dari penonton. ‘’Beda dengan Teater O. Jika akan manggung, orang sudah yakin suguhannya pasti komedi. Dan bagi kami komedi satire adalah trade mark grup,’’ujar penyiar RRI Pro 2 FM Medan ini.
Dijelaskan alumnus FS USU ini, trade mark itulah yang mereka jual ke penonton, terutama kalangan mahasiswa dan seniman Medan . Dalam catatan sejarahnya, jika Teater ‘O’ USU manggung, maka Gelanggang Mahasiswa USU yang berkapasitas 1000 orang selalu sulit menampung antusiasme penonton. Bahkan tidak jarang penonton rela duduk di gang-gang yang memisahkan kursi penonton. Grup ini pernah menghadirkan penonton sekitar 1200 lebih dalam pertunjukan naskah Wek-Wek karya D Djajakusuma.
Konsistensi itu setidaknya ditunjukkan juga dengan sikap untuk lebih mengutamakan naskah sendiri daripada naskah luar. Tercatat, hanya naskah Wek-Wek (D Djajakusuma), SOK (Moliere), Malam Terakhir (Yukio Mishima), dan Silhuet serta Rimba-rimba Cermin (Z Pangaduan Lubis) yang dimainkan Teater ‘O’. Bahkan untuk tiga naskah terakhir di atas, tidak mengusung naskah komedi satire. Selebihnya, Teater O dipastikan akan mengusung naskah sendiri. Terbanyak memang karya Yusrianto Nasution.
Grup ini juga pernah mencoba cari haluan baru dengan mengusung naskah absurd berjudul
Malam Terakhir, Silhuet dan Rimba-rimba Cermin. Justru langkah itu jadi boomerang. ‘’Karena sejak itu kami mulai ditinggalkan penonton,’’aku Yusrianto seraya menjelaskan dalam naskah Rimba-rimba Cermin, misalnya, belum mencapai satu jam dari dua jam durasi pertunjukan, penonton sudah pelan-pelan meninggalkan panggung. ‘’Nggak ngerti kami. Berat dan gelap. Tidak seperti Teater O yang kami tonton,’’papar Yusrianto menirukan keluhan penonton yang diterimanya usai mentas.
Sadar bahwa penonton mulai protes, Teater ‘O’ pun kembali ke ‘jalan yang benar’. Sejak itu, naskah komedi seperti Sayembara Bohong, Profesor Botol, Gara-gara, Pangeran Jongkok, dan terakhir Presiden Ha-ha Hi-hi dipentaskan grup ini. Jika melihat antusiasme penonton menyaksikan pertunjukan Teater ‘O’, seharusnya begitu pula dengan pertunjukan serupa di TBSU Medan . Tapi sayangnya, jika ada pertunjukan teater di TBSU, jumlah penontonnya tidak lebih dari 300-400 orang. Bahkan kalau boleh dibilang, orangnya itu ke itu saja. ‘’Itu karena seniman di TBSU kurang membaca pasar. Di saat booming sinetron melanda dunia hiburan di televisi, seharusnya seniman Medan berani mencari alternatif. Di sini anak-anak Teater O punya kelebihan,’’kata Mukhlis Win Arioga, salah seorang pekerja teater di Medan . Mukhlis bisa benar. Meskipun bersaing dengan grup musik Raja dan RIf yang pernah manggung di USU--tidak jauh dari tempat Teater O mentas--jumlah penonton Teater O tidak pernah kurang dari 700 orang.
Tidak selamanya langkah Teater O berjalan mulus. Di penghujung 80-an di Medan, sempat ada jarak antara seniman kampus dan seniman luar kampus. Jarak itu setidaknya juga mempengaruhi iklim pertunjukan kesenian. Tak pelak, Teater ‘O’ USU pun terimbas. Grup ini sempat dituding ‘jago kandang’ karena setiap pementasannya tidak pernah keluar dari kampus USU Medan. ‘’Sikap grup ini semata-mata didasari kepada kepentingan membangun kesadaran berkesenian di kalangan mahasiswa disamping, tentu saja, mencari keuntungan secara finansial, ‘’kata Yusrianto menjelaskan kenapa Teater ‘O’ USU lebih memilih tampil di kampus daripada di TBSU Medan . Mungkin karena sikap itu pulalah yang membuat grup ini tidak begitu mendapat tempat di kalangan seniman Medan . Jika pun ada seniman yang menonton pertunjukan mereka di Gelanggang Mahasiswa USU Medan , itu tidak lebih dari puluhan orang.
Meski secara kualitas pementasan Teater O setia pada jalur komedi satire, grup ini ternyata memiliki problem terbesar yang hingga sekarang sulit teratasi. Teater O adalah grup yang menerapkan manajemen berkesenian yang tidak profesional. Bayangkan saja, di usianya yang sudah tua ini, kondisi keuangan grup ini masih ‘senin-kamis’. Kadang untuk membiayai sebuah pementasan, mereka sangat tergantung kepada bantuan rektorat dan fakultas tempat grup ini bernaung. ‘’Mungkin karena tujuan kami mentas bukan cari uang, jadi kondisi keuangannya pun seperti itu,’’aku Agus Mulia, salah seolah generasi pertama Teater O.
Di tengah kondisi keuangan yang serba memprihatinkan itu, grup yang punya moto Hadir dan Ada Bukan Sekedar Datang dan Bernafas ini masih eksis. Bayangkan misalnya dengan sejumlah grup teater kampus di Medan yang hidup segan mati tak mau. Ternyata resep mereka sederhana saja untuk tetap bisa manggung. ‘’Dua kali mentas dalam setahun adalah kewajiban pengurus. Itu tidak bisa ditawar-tawar,’’kata Ivan Sugito, pimpinan grup ini. Ternyata dengan setia pada konsep, sebuah grup teater akan tetap eksis.
Yulhasni, jurnalis dan penikmat teater di Medan
Selayang Pandang oleh Bambang Sumantri
Perkembangan kualitas teater di Kampus, akan terbatas pada ruang dan waktu..Kesempatan mahasiswa dalam menggali pengetahuan teater, hanya sebatas satu sampai empat tahun. Mahasiswa idealnya ditempa untuk menjadi seorang "Ahli", bukan seniman. Namun jika anda mampu memanfaatkan kesempatan untuk mendalami basic teater, maka setiap saat darah teater itu mengalir dalam diri anda. Siap terjun berteater pada saat ada kesempatan, dan siap menanggalkan status/jabatan sementara waktu " Ini kata-kata yang pernah aku ucapkan di Aula Fak Sastra USU, sebelum memulai latihan basic teater 29 tahun lalu...Tidak dapat dipungkiri rasa kekeluargaan, saling menghormati dalam kelompok teater cukup kuat mengakar dalam pribadi personilnya....
Keberadaan kelompok tetaer di Fak Sastra USU jurusan Sastra Indonesia, lahir dan tumbuh tahun 1983 dari garapan visualisasi puisi, fragment ringan serta potongan cerita yang dijadikan cerita dalam gaya improvisasi. Aktivitas ini direspon dan didukung oleh Keluarga Besar Sastra Indonesia (KBSI).
Perjuangan mahasiswa Sastra Indoneisa cukup pahit. Latihan basic fisik teater dilakukan di belakang Aula Fak Sastra yang dipenuhi ilalang dan rumput liar. Segala pandangan sinis dan cemooh dari mahasiswa lain kami terima dengan lapang dada.Sia-siakah perjuangan itu..berhentikah mengalir darah teater di Fak Sastra USU..Saya tidak bisa menjawabnya..Biarlah mereka pelaku sejarah teater Fak.Sastra Jurusan Sastra Indonesia yang menjawabnya.
Sebagai seorang mantan mahasiswa Fak Sastra USU, sudah ku laksanakan amanah untuk membagi pengetahuan tetaer kepada rekan dan adik mahasiswa dengan segala keterbatasannya. Terimakasih dari ku buat Bang Haris Tapasela, Hafni Tanjung, Eddy Zulfikar, Bang Irwansyah, Mas Wahyudi serta Sesepuh Teater Alm Z.Pangaduan Lubis...Buat Teater O..selamat berkarya...hormat ku Bambang Sumantri
Minggu, 26 Juni 2011
Bengkel Demokrasi Itu Bernama Teater O oleh Didik L. Pambudi
Meskipun banyak yang tidak mengenal Teater O tetapi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS-USU) identik dengan teater O. Lembaga mahasiswa yang kerap memberikan prestasi kepada FS-USU serta tak lekang di panas tak lapuk di hujan hingga hampir 19 tahun pendiriannya (sejak 1 Oktober 1991) adalah Teater O.
Ribuan anggotanya sudah tersebar di seluruh tanah air. Menariknya, anggota-anggota awal masih banyak yang terus membesarkan teater ini. Misalnya, Yusrianto (alumnus Sastra Melayu angkatan 1986; kini pegawai RRI) yang memberikan nama “O”. Ia masih terus menyutradai beberapa naskah yang dianggap penting. Lalu Mukhlise (kawanku satu angkatan di Sastra Indonesia 1991) bahkan lebih gila karena rela keluar dari editor berita sebuah harian bisnis di Medan karena ingin total berkesenian di kampus (suatu hari USU, minimal FS-USU harus membangun patungnya).
Kini sedikit kuceritakan masa awal pendirian Teater O hingga aku merasa menjelma menjadi manusia baru.
Cerita bermula ketika pada tahun 1991, sebelum aku masuk kuliah di FS-USU, terjadi pertengkaran antar-sesama anggota Teatar Ladang yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di USU. Cerita itu kuketahui beradarkan penuturan pendiri Teater O diantaranya Sastra Maulud, Yusrianto, Ibrahim Sembiring…. Apa penyebab pertengkaran, aku tak ingin menceritakannya.
Pertengkaran menyebabkan Teater Ladang (saat itu bermarkas di Pendopo USU) terpecah dua. Sebagian besar memilih keluar dari Teater Ladang dan berniat mendirikan teater baru di FS-USU. Begitupun ada beberapa pekerja seni, diantaranya Thompson Hutasoit (biasa menyingkat marganya dengan Hs) memilih bertahan di Teater Ladang.
Saat itu Thompson adalah mahasiswa senior dari Sastra Indonesia angkatan 1987. Ia lelaki yang kupikir dikirim dari surga karena hampir seluruh pembicaraannya tak pernah kumengerti walau selalu dibuktikannya. Yah mirip lagu Ebiet G Ade “Lelaki dari Surga”. Kukutipkan sedikit liriknya: …kata-katanya tak bisa dimengerti namun selalu saja akhirnya terbukti. Dia lelaki gagah perkasa; dia lelaki ilham dari surga…
Demikianlah. Sosok Thompson telah menyihirku.
Pada masa perkenalan mahasiswa baru dengan para senior, Thompson bertanya padaku dan rekan-rekanku, apakah kami suka berteater dan ingin menjadi anggota teater. Kami yang masih hijau raya-raya tentu mengatakan suka dengan teater. Biasalah, lagi kemaruk (kupikir, ini diksi yang pas untuk euphoria) jadi mahasiswa. Apa saja yang dianggap “melambangkan mahasiswa” pasti dijajal.
Ketika Senat Mahasiswa (Sema) FS-USU membuka pendaftaran bagi anggota teater, aku, Yulhasni (kini dosen di Medan), Agus Mulia (kini staf balai bahasa di Medan), Mukhlise Win Ariyoga, Rahmat Efendi Siregar (kudengar ia aktif berpolitik di Tapanuli Selatan), Hermansyah Putra (pernah jadi karyawan di Taman Ria Medan sebelum gedungnya dipindahkan dari pusat kota untuk dijadikan hotel), Ali Sidiqin (kini kepala sekolah), Saiful Bahri Lubis (kini guru di Palembang), Rosliani (kini staf balai bahasa di Medan) yang semuanya mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 1991 segera mendaftar. Menyusul kemudian Andry F. Isra (mahasiswa Sastra Inggris angkatan 1991, kini kapten TNI AU di Kupang) serta almarhum Alfian (Sastra Melayu angkatan 1991, meninggal dalam pelatihan masuk Resimen Mahasiswa USU —kabarnya karena sakit jantung—setelah keluar dari Teater O).
Aku, awalnya, tak tahu bahwa teater yang dibuka senat mahasiswa bukanlah Teater Ladang. Artinya, tanpa kusadari, kelak aku justru berkompetitor dengan salah satu seniman yang kusukai, Thompson Hs.
Masuk teater memang bikin ketagihan. Meski, dalam hitungan hari, aku tahu teater milik senat mahasiswa justru tandingan Teater Ladang tapi masa hari ini masih bicara perbedaan? Yang penting berteater. Titik.
Aku pun masabodo dengan segala macam intrik di teater. Yang jelas, aku di teater untuk latihan dan mengolah fisik serta mental plus spiritual.
Dan ternyata teater memang mantap, sehat menggemaskan, berkualitas, kompak, dan ini dia puncaknya: demokratis.
Gank yang kudirikan waktu SMP pun kekompakannya kalah jauh.
Aku masuk teater karena punya masalah dengan kepercayaan diri. Bayangkan saja aku lulus dari SMA sebagai peringkat ke-39 dari 40 siswa sekelas di SMAN 1 Binjai jurusan IPS 3. Peringkat ke-40 tidak lulus. Artinya aku siswa dengan peringkat terakhir yang lulus. Kelasku IPS 3 juga bukan kelas bermutu. Anak-anal sosial yang dianggap berbakat sosial tentulah sudah memenuhi kelas IPS 1 dan IPS 2. Buruknya lagi, di ijazah, nilai matematikaku diganjar angka empat. Satu-satunya lulusan SMAN 1 Binjai yang punya angka empat di ijazahnya. Klop sudah. Aku betul-betul merasa menjadi manusia terdungu.
Lantaran pengetahuan teramat minim, aku lebih banyak main tebak saja ketika uji masuk USU dilakukan. Saat tes matematika, aku bahkan hampir tak membaca soal yang diajukan. Tetapi ilmu tebak-tebakanku berhasil. Aku diterima di USU.
Mengapa aku masuk Sastra Indonesia ada juga hubungannya dengan kegemaranku membaca. Aku membaca mulai karya Chin Yung dan Khu Lung (aku kurang suka Khopingho) hingga Arjuna Sasrabahu sampai Pandawa Seda. Dulu aku hafal mati kisah kelahiran Bhisma (leluhur Pandawa-Kurawa) hingga diangkatnya Parikesit sebagai raja sepeninggalan Pandawa. Tetapi yang betul-betul menohokku adalah Gola Gong. Aku betul-betul merasa ditampar karena Gege (panggilan Gola Gong) yang cuma punya satu tangan itu bisa menulis banyak buku. Egoku merasa luka, kenapa orang sehat seperti aku tidak bisa seperti Gege? Padahal Gege juga bukan pelajar teladan semasa sekolah.
Begitu masuk teater, aku segera terkenang saat masuk sasana tinju ketika masih kelas 2 SMP. Fisikku betul-betul dibantai. Bedanya jika di sasana aku dilarang memukul sansak apalagi sparing partner lantaran pelatih menganggapku masih terlalu muda maka di teater aku seperti dipaksa menjadi atlet profesional. Lari, push up dengan tangan terkepal, dan sit up di lantai semen jadi makanan hampir setiap hari. Sastra Maulud, seniorku (mahasiswa bahasa Arab angkatan 1986, kini karyawan di PD Pasar Medan) betul-betul membuat kami seperti berada di kamp militer. Anehnya, aku sangat menikmati.
Sebulan latihan teater, kami mulai merasa ada perbaikan. Aku mulai banyak makan dan mengurangi rokok. Lalu datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Memberikan nama bagi teater kami pada 1 Oktober 1991.
Sebagai basa-basi politik para senior kampus meminta kami untuk mengusulkan nama yang dianggap bagus. Aku dan Agus Mulia mengusulkan nama Rajawali karena ada lagu Iwan Fals yang judulnya Rajawali. Menurutku, Rajawali itu nama yang pas karena lambang negara kita pun rajawali (cuma diberi nama garuda agar lebih bernilai sastra). Tetapi nama itu ditolak beramai-ramai oleh hampir seluruh anggota teater. Kalah suara, kami segera berkoalisi dengan Rahmat Efendi Siregar yang menawarkan nama Gita Nyali artinya tembang keberanian. Nama itu pun ditolak. Alasannya, itu sudah jadi judul kumpulan puisi Gitanjali-nya Rabindranath Tagore (sastrawan pemenang Nobel). Ternyata alasan itu memang mereka cari-cari saja. Kelompok senior sudah menyiapkan sebuah nama yakni “O”. Tentu saja kami memerotes nama itu. Lambang “O” bukanlah lambang yang mudah ditafsirkan. Belum lagi secara visual ”O” akan terlihat konyol karena meski bisa diartikan “baru mengetahui sesuatu” tetapi bisa juga dibaca “0” (baca: nol) alias kosong. Nol berarti nihil atau tidak berarti sama sekali.
“Biar saja. Biar masyarakat yang menilai kita bakal seperti apa. Apakah mereka akan mengatakan ‘o’ karena ‘tahu maksudnya’ atau malah menganggap ‘0’ (baca: nol). Biarkan mereka yang menilai Aku memang ingin agar teater kita ditafsirkan beragam. Biarkan mereka menilai kita. Tugas kita hanya bermain teater sebaik-baiknya,” kata Yusrianto.
Lantas meski tetap tak puas dengan nama yang kupikir tolol itu, tetap saja aku menyetujuinya karena dalam pemungutan suara kami kalah telak. Rajawali hanya didukung dua suara: aku dan Agus. Sementara Gita Nyali hanya didukung sekitar lima suara, meski kami sudah berkoalisi.
Para penggagas pendirian Teater O diantaranya Agus Bambang Hermanto (kini staf balai bahasa di Medan), Sastra Maulud, Ibrahim Sembiring (kini staf Balai Bahasa di Aceh), Yos Rizal (kini dosen FS USU)… ternyata tidak main-main dengan Teater O. Mereka menggandeng salah satu teaterwan Sumut yang paling cerdas, almarhum Buoy Hardjo (meninggal karena sakit di Malaysia, 2002).
Buoy adalah anak Taguan Hardjo pelukis sekaligus pengarang komik Musang Berjanggut. Buoy dibesarkan dalam lingkungan dan sangat mencintai kesenian. Saat itu ia tercatat sebagai redaktur budaya di Harian Analisa, Medan.
Berdasarkan catatan D Rifai Harahap, Buoy merupakan salah satu anggota Teater Nasional. Teater yang pernah jadi terbaik di Sumatera Utara itu didirikan Burhan Piliang, Sori Siregar, Mazwad Azham, Isqak S, dan Rusli Maha di kediaman Taguan Hardjo, tahun 1963.
Buoy pernah cerita, ia lama berguru pada dedengkot teater Arifin C Noor. Ia pun pernah mendirikan teater bersama Dorman Borisman di Jakarta. Pulang ke Medan, ia menjadi wartawan dan beraktifitas di Teater Nasional. Sayang, Teater Nasional lama vakum hingga Buoy fokus pada dunia jurnalistik. Tentu semangatnya untuk berteater tak pernah hilang hingga ia menyambut sangat gembira ketika diminta melatih kami, mahasiswa baru yang tak pernah kenal teater.
Pembagian tugas antara para senior di kampus dengan Buoy Hardjo jelas. Para senior menggembleng fisik kami habis-habisan sementara tugas Bouy adalah menempa psikis kami hingga kami benar-benar mampu menjadi teaterwan terutama aktor yang baik. Gilanya, Buoy tidak meminta imbalan apa pun untuk tugas mahaberat itu. Baginya, merupakan kebanggaan diminta menyalurkan ilmu kepada para mahasiswa.
Mengenal Buoy seperti mengenal kehidupan. Ia melatih tiga kali seminggu. Ia guru yang baik. Setiap melatih, ia betul-betul membuat kami dicerahkan. Ia tidak sedang menciptakan aktor tetapi membuat kami menjelma. Jika ada yang berperan sebagai orang gila maka orang itu harus gila dalam arti sebenarnya bukan pura-pura gila. Tentu saja semula arahannya kami anggap gila hingga kemudian kami paham Deddy Mizwar bukanlah aktor tetapi mantan pencopet yang jadi jenderal dalam Naga Bonar (belakangan aku tahu, tokoh Naga Bonar adalah almarhum Kolonel Bejo yang terkenal dalam pertempuran Medan Area akhir 1945), sementara Ray Sahetapy adalah petinju dalam Opera Jakarta (Ray berlatih tinju sekitar setengah tahun sebelum berperan).
Di sisi lain, Buoy juga mengajarkan tentang dunia penulisan, demokrasi, hingga perpolitikan di tanah air Ia sering bercerita tentang esensi kemanusiaan. Ia pernah lama cerita panjang kepadaku tentang ayahnya yang membuat sebuah komik bergambar bertema “roda”. Komik itu berlatarbelakang usai perang dunia ketiga. Manusia-manusia yang selamat dari perang—belajar dari pengalaman—tak mau lagi mengenal teknologi. Buku suci dibuat agar manusia tidak boleh lagi berpikir. Demikian berlangsung berabad-abad. Hingga seorang pemuda membuat sebuah roda. Para tetua adat kemudian memutuskan menghukum mati lelaki itu dan memusnahkan roda temuannya. Mereka beranggapan, roda yang ditemukan pemuda itu adalah awal teknologi yang akan membuat generasi penerus kembali melakukan kanibalisasi seperti perang dunia ketiga yang dikisahkan dalam buku suci.
Sebagai seorang realis, Buoy mengatakan naskah itu terlalu mengada-ada tetapi ia suka dengan temanya dan berencana mengadaptasinya menjadi sebuah naskah drama.
Buoy membuatku takjub dengan sebuah imajinasi luar biasa mengenai manusia. Dihancurkan teknologi kemudian menjadi antipati pada pikiran. Manusia yang tak ingin sebuah kehancuran terulang, anehnnya malah menghancurkan kehidupan seorang manusia yang terlahir memiliki otak untuk berpikir. Lewat komiknya, seorang seniman (dalam hal ini Taguan Hardjo) ternyata begitu liar menghantam kiri kanan.
Sejak saat itu, aku belajar menulis.
Akhir 1991, Teater O menggelar sebuah pertunjukan di kampus yang diberi nama “jamuan Jembalang”. Jembalang dalam bahasa Melayu berarti roh para leluhur. Konsep pertunjukan “teater jalanan”. Artinya dipentaskan tanpa panggung dan mengikutsertakan sebanyak mungkin penonton. Pertunjukan murni improvisasi. Hanya dibikin garis besar, seorang mahasiswa (kebetulan aku yang diminta memerankan) kesurupan jembalang. Para mahasiswa (yang bukan anggota teater) diminta ikut berdoa agar aku pulih dari kesurupan. Sementara anggota Teater “O” lainnya menggelar jamuan dengan terus membakar dupa dan menabur bebungaan.
Pertunjukan digelar saat dupa dibakar. Ketika asap semakin tebal, kami pun menari sesuka hati. Lantas aku (pura-pura) terjatuh dan kejang-kejang. Kawan-kawan kemudian mengangkatku, menyiramkan air, bertanya macam-macam, dan aku pun terus mengerang dalam kekejangan. Anggota teater kemudian membawaku berkeliling kampus; masuk dari satu lokal ke lokal lain minta pertolongan. Ketika bebungaan semakin banyak ditaburkan, aku dibawa ke panggung terbuka di tengah fakultas. Lantas pelan-pelan tersadar.
Aku tak pernah tahu, bahwa pertunjukan yang kuanggap main-main ternyata menyihir begitu banyak mahasiswa. Seorang mahasiswa bernama Imelda bahkan tidak tahu itu semua hanya drama hingga ia menikah denganku, hampir sembilan tahun kemudian.
Usai pertunjukan jembalang-jembalangan itu, para anggota teater yang senior mulai unjuk gigi dengan membacakan puisi. Ada yang santai; ada yang kalem; tetapi ada juga yang menjerit-jerit. Mukhlise dan Agus pun mulai pamer diri. Aku juga ingin tampil. Tetapi membacakan puisi siapa? Seluruh kawanku membacakan puisi mereka sendiri.
Hujan mulai turun. Kawan-kawan makin bersemangat. Bahkan mulai banyak yang membuka baju agar penampilan terlihat makin liar saat badan kekar dan rambut panjang tersibak angin dan basah dihantam hujan. Aku masih diam.
Akhirnya, gemuruh dadaku tak tahan lagi meminta kemerdekaan. Aku pun melepas baju lantas (mencoba) bersajak.
Inilah bunyinya:
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (baca: ucapkan kelamin dalam berbagai bahasa daerah)
Berbedabeda tetapi itu-itu juga
Ini sajak bhineka tunggal ika
Lantas aku melihat kebebasan dan kemerdekaan itu. Para seniorku tertawa; kawan-kawanku terbahak; para mahasiswa (terutama perempuan) yang berlalu-lalang cengar-cengir menahan geli. Tidak seorang pun yang memakiku; tidak seorang pun yang menghujatku.
Sejak saat itu aku tahu, Teater O telah menempaku menjadi manusia baru.
Sejak saat itu aku tahu, Teater O adalah sebuah bengkel demokrasi yang tak pernah mati.
Ditulis sebagai penghormatan untuk Teater O USU sekaligus menyambut Hari Teater Sedunia yang jatuh setiap 27 Maret
Ribuan anggotanya sudah tersebar di seluruh tanah air. Menariknya, anggota-anggota awal masih banyak yang terus membesarkan teater ini. Misalnya, Yusrianto (alumnus Sastra Melayu angkatan 1986; kini pegawai RRI) yang memberikan nama “O”. Ia masih terus menyutradai beberapa naskah yang dianggap penting. Lalu Mukhlise (kawanku satu angkatan di Sastra Indonesia 1991) bahkan lebih gila karena rela keluar dari editor berita sebuah harian bisnis di Medan karena ingin total berkesenian di kampus (suatu hari USU, minimal FS-USU harus membangun patungnya).
Kini sedikit kuceritakan masa awal pendirian Teater O hingga aku merasa menjelma menjadi manusia baru.
Cerita bermula ketika pada tahun 1991, sebelum aku masuk kuliah di FS-USU, terjadi pertengkaran antar-sesama anggota Teatar Ladang yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di USU. Cerita itu kuketahui beradarkan penuturan pendiri Teater O diantaranya Sastra Maulud, Yusrianto, Ibrahim Sembiring…. Apa penyebab pertengkaran, aku tak ingin menceritakannya.
Pertengkaran menyebabkan Teater Ladang (saat itu bermarkas di Pendopo USU) terpecah dua. Sebagian besar memilih keluar dari Teater Ladang dan berniat mendirikan teater baru di FS-USU. Begitupun ada beberapa pekerja seni, diantaranya Thompson Hutasoit (biasa menyingkat marganya dengan Hs) memilih bertahan di Teater Ladang.
Saat itu Thompson adalah mahasiswa senior dari Sastra Indonesia angkatan 1987. Ia lelaki yang kupikir dikirim dari surga karena hampir seluruh pembicaraannya tak pernah kumengerti walau selalu dibuktikannya. Yah mirip lagu Ebiet G Ade “Lelaki dari Surga”. Kukutipkan sedikit liriknya: …kata-katanya tak bisa dimengerti namun selalu saja akhirnya terbukti. Dia lelaki gagah perkasa; dia lelaki ilham dari surga…
Demikianlah. Sosok Thompson telah menyihirku.
Pada masa perkenalan mahasiswa baru dengan para senior, Thompson bertanya padaku dan rekan-rekanku, apakah kami suka berteater dan ingin menjadi anggota teater. Kami yang masih hijau raya-raya tentu mengatakan suka dengan teater. Biasalah, lagi kemaruk (kupikir, ini diksi yang pas untuk euphoria) jadi mahasiswa. Apa saja yang dianggap “melambangkan mahasiswa” pasti dijajal.
Ketika Senat Mahasiswa (Sema) FS-USU membuka pendaftaran bagi anggota teater, aku, Yulhasni (kini dosen di Medan), Agus Mulia (kini staf balai bahasa di Medan), Mukhlise Win Ariyoga, Rahmat Efendi Siregar (kudengar ia aktif berpolitik di Tapanuli Selatan), Hermansyah Putra (pernah jadi karyawan di Taman Ria Medan sebelum gedungnya dipindahkan dari pusat kota untuk dijadikan hotel), Ali Sidiqin (kini kepala sekolah), Saiful Bahri Lubis (kini guru di Palembang), Rosliani (kini staf balai bahasa di Medan) yang semuanya mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 1991 segera mendaftar. Menyusul kemudian Andry F. Isra (mahasiswa Sastra Inggris angkatan 1991, kini kapten TNI AU di Kupang) serta almarhum Alfian (Sastra Melayu angkatan 1991, meninggal dalam pelatihan masuk Resimen Mahasiswa USU —kabarnya karena sakit jantung—setelah keluar dari Teater O).
Aku, awalnya, tak tahu bahwa teater yang dibuka senat mahasiswa bukanlah Teater Ladang. Artinya, tanpa kusadari, kelak aku justru berkompetitor dengan salah satu seniman yang kusukai, Thompson Hs.
Masuk teater memang bikin ketagihan. Meski, dalam hitungan hari, aku tahu teater milik senat mahasiswa justru tandingan Teater Ladang tapi masa hari ini masih bicara perbedaan? Yang penting berteater. Titik.
Aku pun masabodo dengan segala macam intrik di teater. Yang jelas, aku di teater untuk latihan dan mengolah fisik serta mental plus spiritual.
Dan ternyata teater memang mantap, sehat menggemaskan, berkualitas, kompak, dan ini dia puncaknya: demokratis.
Gank yang kudirikan waktu SMP pun kekompakannya kalah jauh.
Aku masuk teater karena punya masalah dengan kepercayaan diri. Bayangkan saja aku lulus dari SMA sebagai peringkat ke-39 dari 40 siswa sekelas di SMAN 1 Binjai jurusan IPS 3. Peringkat ke-40 tidak lulus. Artinya aku siswa dengan peringkat terakhir yang lulus. Kelasku IPS 3 juga bukan kelas bermutu. Anak-anal sosial yang dianggap berbakat sosial tentulah sudah memenuhi kelas IPS 1 dan IPS 2. Buruknya lagi, di ijazah, nilai matematikaku diganjar angka empat. Satu-satunya lulusan SMAN 1 Binjai yang punya angka empat di ijazahnya. Klop sudah. Aku betul-betul merasa menjadi manusia terdungu.
Lantaran pengetahuan teramat minim, aku lebih banyak main tebak saja ketika uji masuk USU dilakukan. Saat tes matematika, aku bahkan hampir tak membaca soal yang diajukan. Tetapi ilmu tebak-tebakanku berhasil. Aku diterima di USU.
Mengapa aku masuk Sastra Indonesia ada juga hubungannya dengan kegemaranku membaca. Aku membaca mulai karya Chin Yung dan Khu Lung (aku kurang suka Khopingho) hingga Arjuna Sasrabahu sampai Pandawa Seda. Dulu aku hafal mati kisah kelahiran Bhisma (leluhur Pandawa-Kurawa) hingga diangkatnya Parikesit sebagai raja sepeninggalan Pandawa. Tetapi yang betul-betul menohokku adalah Gola Gong. Aku betul-betul merasa ditampar karena Gege (panggilan Gola Gong) yang cuma punya satu tangan itu bisa menulis banyak buku. Egoku merasa luka, kenapa orang sehat seperti aku tidak bisa seperti Gege? Padahal Gege juga bukan pelajar teladan semasa sekolah.
Begitu masuk teater, aku segera terkenang saat masuk sasana tinju ketika masih kelas 2 SMP. Fisikku betul-betul dibantai. Bedanya jika di sasana aku dilarang memukul sansak apalagi sparing partner lantaran pelatih menganggapku masih terlalu muda maka di teater aku seperti dipaksa menjadi atlet profesional. Lari, push up dengan tangan terkepal, dan sit up di lantai semen jadi makanan hampir setiap hari. Sastra Maulud, seniorku (mahasiswa bahasa Arab angkatan 1986, kini karyawan di PD Pasar Medan) betul-betul membuat kami seperti berada di kamp militer. Anehnya, aku sangat menikmati.
Sebulan latihan teater, kami mulai merasa ada perbaikan. Aku mulai banyak makan dan mengurangi rokok. Lalu datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Memberikan nama bagi teater kami pada 1 Oktober 1991.
Sebagai basa-basi politik para senior kampus meminta kami untuk mengusulkan nama yang dianggap bagus. Aku dan Agus Mulia mengusulkan nama Rajawali karena ada lagu Iwan Fals yang judulnya Rajawali. Menurutku, Rajawali itu nama yang pas karena lambang negara kita pun rajawali (cuma diberi nama garuda agar lebih bernilai sastra). Tetapi nama itu ditolak beramai-ramai oleh hampir seluruh anggota teater. Kalah suara, kami segera berkoalisi dengan Rahmat Efendi Siregar yang menawarkan nama Gita Nyali artinya tembang keberanian. Nama itu pun ditolak. Alasannya, itu sudah jadi judul kumpulan puisi Gitanjali-nya Rabindranath Tagore (sastrawan pemenang Nobel). Ternyata alasan itu memang mereka cari-cari saja. Kelompok senior sudah menyiapkan sebuah nama yakni “O”. Tentu saja kami memerotes nama itu. Lambang “O” bukanlah lambang yang mudah ditafsirkan. Belum lagi secara visual ”O” akan terlihat konyol karena meski bisa diartikan “baru mengetahui sesuatu” tetapi bisa juga dibaca “0” (baca: nol) alias kosong. Nol berarti nihil atau tidak berarti sama sekali.
“Biar saja. Biar masyarakat yang menilai kita bakal seperti apa. Apakah mereka akan mengatakan ‘o’ karena ‘tahu maksudnya’ atau malah menganggap ‘0’ (baca: nol). Biarkan mereka yang menilai Aku memang ingin agar teater kita ditafsirkan beragam. Biarkan mereka menilai kita. Tugas kita hanya bermain teater sebaik-baiknya,” kata Yusrianto.
Lantas meski tetap tak puas dengan nama yang kupikir tolol itu, tetap saja aku menyetujuinya karena dalam pemungutan suara kami kalah telak. Rajawali hanya didukung dua suara: aku dan Agus. Sementara Gita Nyali hanya didukung sekitar lima suara, meski kami sudah berkoalisi.
Para penggagas pendirian Teater O diantaranya Agus Bambang Hermanto (kini staf balai bahasa di Medan), Sastra Maulud, Ibrahim Sembiring (kini staf Balai Bahasa di Aceh), Yos Rizal (kini dosen FS USU)… ternyata tidak main-main dengan Teater O. Mereka menggandeng salah satu teaterwan Sumut yang paling cerdas, almarhum Buoy Hardjo (meninggal karena sakit di Malaysia, 2002).
Buoy adalah anak Taguan Hardjo pelukis sekaligus pengarang komik Musang Berjanggut. Buoy dibesarkan dalam lingkungan dan sangat mencintai kesenian. Saat itu ia tercatat sebagai redaktur budaya di Harian Analisa, Medan.
Berdasarkan catatan D Rifai Harahap, Buoy merupakan salah satu anggota Teater Nasional. Teater yang pernah jadi terbaik di Sumatera Utara itu didirikan Burhan Piliang, Sori Siregar, Mazwad Azham, Isqak S, dan Rusli Maha di kediaman Taguan Hardjo, tahun 1963.
Buoy pernah cerita, ia lama berguru pada dedengkot teater Arifin C Noor. Ia pun pernah mendirikan teater bersama Dorman Borisman di Jakarta. Pulang ke Medan, ia menjadi wartawan dan beraktifitas di Teater Nasional. Sayang, Teater Nasional lama vakum hingga Buoy fokus pada dunia jurnalistik. Tentu semangatnya untuk berteater tak pernah hilang hingga ia menyambut sangat gembira ketika diminta melatih kami, mahasiswa baru yang tak pernah kenal teater.
Pembagian tugas antara para senior di kampus dengan Buoy Hardjo jelas. Para senior menggembleng fisik kami habis-habisan sementara tugas Bouy adalah menempa psikis kami hingga kami benar-benar mampu menjadi teaterwan terutama aktor yang baik. Gilanya, Buoy tidak meminta imbalan apa pun untuk tugas mahaberat itu. Baginya, merupakan kebanggaan diminta menyalurkan ilmu kepada para mahasiswa.
Mengenal Buoy seperti mengenal kehidupan. Ia melatih tiga kali seminggu. Ia guru yang baik. Setiap melatih, ia betul-betul membuat kami dicerahkan. Ia tidak sedang menciptakan aktor tetapi membuat kami menjelma. Jika ada yang berperan sebagai orang gila maka orang itu harus gila dalam arti sebenarnya bukan pura-pura gila. Tentu saja semula arahannya kami anggap gila hingga kemudian kami paham Deddy Mizwar bukanlah aktor tetapi mantan pencopet yang jadi jenderal dalam Naga Bonar (belakangan aku tahu, tokoh Naga Bonar adalah almarhum Kolonel Bejo yang terkenal dalam pertempuran Medan Area akhir 1945), sementara Ray Sahetapy adalah petinju dalam Opera Jakarta (Ray berlatih tinju sekitar setengah tahun sebelum berperan).
Di sisi lain, Buoy juga mengajarkan tentang dunia penulisan, demokrasi, hingga perpolitikan di tanah air Ia sering bercerita tentang esensi kemanusiaan. Ia pernah lama cerita panjang kepadaku tentang ayahnya yang membuat sebuah komik bergambar bertema “roda”. Komik itu berlatarbelakang usai perang dunia ketiga. Manusia-manusia yang selamat dari perang—belajar dari pengalaman—tak mau lagi mengenal teknologi. Buku suci dibuat agar manusia tidak boleh lagi berpikir. Demikian berlangsung berabad-abad. Hingga seorang pemuda membuat sebuah roda. Para tetua adat kemudian memutuskan menghukum mati lelaki itu dan memusnahkan roda temuannya. Mereka beranggapan, roda yang ditemukan pemuda itu adalah awal teknologi yang akan membuat generasi penerus kembali melakukan kanibalisasi seperti perang dunia ketiga yang dikisahkan dalam buku suci.
Sebagai seorang realis, Buoy mengatakan naskah itu terlalu mengada-ada tetapi ia suka dengan temanya dan berencana mengadaptasinya menjadi sebuah naskah drama.
Buoy membuatku takjub dengan sebuah imajinasi luar biasa mengenai manusia. Dihancurkan teknologi kemudian menjadi antipati pada pikiran. Manusia yang tak ingin sebuah kehancuran terulang, anehnnya malah menghancurkan kehidupan seorang manusia yang terlahir memiliki otak untuk berpikir. Lewat komiknya, seorang seniman (dalam hal ini Taguan Hardjo) ternyata begitu liar menghantam kiri kanan.
Sejak saat itu, aku belajar menulis.
Akhir 1991, Teater O menggelar sebuah pertunjukan di kampus yang diberi nama “jamuan Jembalang”. Jembalang dalam bahasa Melayu berarti roh para leluhur. Konsep pertunjukan “teater jalanan”. Artinya dipentaskan tanpa panggung dan mengikutsertakan sebanyak mungkin penonton. Pertunjukan murni improvisasi. Hanya dibikin garis besar, seorang mahasiswa (kebetulan aku yang diminta memerankan) kesurupan jembalang. Para mahasiswa (yang bukan anggota teater) diminta ikut berdoa agar aku pulih dari kesurupan. Sementara anggota Teater “O” lainnya menggelar jamuan dengan terus membakar dupa dan menabur bebungaan.
Pertunjukan digelar saat dupa dibakar. Ketika asap semakin tebal, kami pun menari sesuka hati. Lantas aku (pura-pura) terjatuh dan kejang-kejang. Kawan-kawan kemudian mengangkatku, menyiramkan air, bertanya macam-macam, dan aku pun terus mengerang dalam kekejangan. Anggota teater kemudian membawaku berkeliling kampus; masuk dari satu lokal ke lokal lain minta pertolongan. Ketika bebungaan semakin banyak ditaburkan, aku dibawa ke panggung terbuka di tengah fakultas. Lantas pelan-pelan tersadar.
Aku tak pernah tahu, bahwa pertunjukan yang kuanggap main-main ternyata menyihir begitu banyak mahasiswa. Seorang mahasiswa bernama Imelda bahkan tidak tahu itu semua hanya drama hingga ia menikah denganku, hampir sembilan tahun kemudian.
Usai pertunjukan jembalang-jembalangan itu, para anggota teater yang senior mulai unjuk gigi dengan membacakan puisi. Ada yang santai; ada yang kalem; tetapi ada juga yang menjerit-jerit. Mukhlise dan Agus pun mulai pamer diri. Aku juga ingin tampil. Tetapi membacakan puisi siapa? Seluruh kawanku membacakan puisi mereka sendiri.
Hujan mulai turun. Kawan-kawan makin bersemangat. Bahkan mulai banyak yang membuka baju agar penampilan terlihat makin liar saat badan kekar dan rambut panjang tersibak angin dan basah dihantam hujan. Aku masih diam.
Akhirnya, gemuruh dadaku tak tahan lagi meminta kemerdekaan. Aku pun melepas baju lantas (mencoba) bersajak.
Inilah bunyinya:
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (baca: ucapkan kelamin dalam berbagai bahasa daerah)
Berbedabeda tetapi itu-itu juga
Ini sajak bhineka tunggal ika
Lantas aku melihat kebebasan dan kemerdekaan itu. Para seniorku tertawa; kawan-kawanku terbahak; para mahasiswa (terutama perempuan) yang berlalu-lalang cengar-cengir menahan geli. Tidak seorang pun yang memakiku; tidak seorang pun yang menghujatku.
Sejak saat itu aku tahu, Teater O telah menempaku menjadi manusia baru.
Sejak saat itu aku tahu, Teater O adalah sebuah bengkel demokrasi yang tak pernah mati.
Ditulis sebagai penghormatan untuk Teater O USU sekaligus menyambut Hari Teater Sedunia yang jatuh setiap 27 Maret
study at 4 Conciouness oleh Yos Rizal
Dalam berteater dikenal ada istilah 4 SADAR atau 4 kesadaran yg wajib dimiliki, dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh setiap orang yg mengaku dirinya adalah seniman teater. Keempat sadar tersebut adalah SADAR DIRI, SADAR RUANG, SADAR TEMPAT, dan SADAR WAKTU -- dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas keempat masalah ini -- melainkan menyoroti aplikasi keempat kesadaran tersebut dalam sejarah lintas teater 'O' dari dulu sampai sekarang dalam beraktifitas, di luar maupun di dalam.Teater 'O' berdiri atas dasar kesadaran yg tinggi dari orang2 yang cinta dan ingin melihat kehidupan berkesenian di fakultas Sastra USU atau di USU khususnya, di kota Medan pada umumnya. Seiring perjalanan waktu, begitu banyak warna yang memberikan entitas atau identitas baru bagi teater 'O' sehingga tampilan teater 'O' berubah dari dasar pemikiran pembentukannya. Disadari atau tidak hal ini membuat teater 'O' jadi unik dan eksentrik --kalau boleh dikatakan demikian-- Kenapa? Pertama, Unik karena dalam sejarah perkumpulan organisasi kemahasiswaan yang menaungi bidang kesenian, teater 'O' dapat tumbuh dan berkembang disela-sela keluar masuknya mahasiswa karena habisnya masa studi.Kedua, unik karena anggota teater ini masih dimiliki dan dicintai oleh para alumninya serta ikut pula berkecimpung terus dalam setiap agenda kegiatan yang diselenggarakan. Anggota luar biasa namanya bagi para alumni ini. Dalam setiap agenda yang diperlukan oleh setiap alumni yg bergerak di berbagai bidang, teater 'O' tetap dapat dimanfaatkan bagi kepentingan-kepentingan alumni tersebut, walaupun untuk keperluan tersebut selalu dikenakan "charge" atau "fee" bagi para pengguna tersebut. Bagaimana dampaknya bagi teater 'O'? Kalau boleh saya katakan --ini opini jujur sbg pemerhati bidang sosial dan seni-- sangat luar biasa. Selain mendapat keuntungan secara finansial juga dapat mengajarkan sikap enterpreunership bagi para anggota teater 'O', tentu saja juga melahirkan sikap yang profesional. Satu keuntungan terbesar lainnya adalah nama atau kredibilitas teater 'O' menjadi harum dan diakui sebagai teater mahasiswa yang paling eksis dan paling inovatif di pulau Sumatra, Jawa, bahkan untuk ASEAN --karena hanya teater ini yang pernah diundang dan mewakili teater mahasiswa dalam pertemuan sastrawan se ASEAN di Padang Panjang--Pencetakan prestasi ini sayangnya tidak dibarengi dengan award yang diberikan oleh pihak institusi dimana teater ini berada--yang sering malah punish lebih banyak diterima oleh pengelola teater ini. Sebenarnya tinggal bagaimana pihak pengelola teater ini melakukan bargaining dengan pihak penguasa agar lebih mendapat porsi yang lebih layak. Mengapa demikian? Karena dalam upaya menjadi Worl Class University mau tidak mau USU harus melibatkan dan memasukkan agenda kegiatan teater ini sebagai salah satu bentuk kegiatan yang dapat menjadikan mahasiswa memiliki soft skill dan hard skill di bidang kesenian, khususnya dalam berteater. Sekaligus juga sebagai sarana pengembangan kesenian etnik sumatera utara yang jauh lebih nyata dibandingkan institusi yang dibentuk oleh USU itu sendiri yakni LK USU. Sampai saat ini sudah lebih kurang 100 pementasan yang dibuat oleh teater 'O' yang semuanya terdokumentasi dengan baik.Pada sisi lain, kenapa teater ini dikatakan eksentrik? Eksentrik karena memang teater 'O' lebih suka menggunakan tatanan nilai dan norma yang dianggap lebih representatif dibandingkan dengan tatanan nilai dan norma yang diterapkan oleh pihak universitas. Keberagaman tindakan, karakter, dan pemikiran yang dimiliki oleh anggota teater 'O' merupakan kekayaan yang sangat fantastis karena keanekaragaman ini pula maka teater ini lebih mudah mengenal karakter manusia yang akan dijadikan objek observasi para anggota teater dalam memahami dan mempelajari karakter manusia secara umum. Bukankah tujuan akhir dari setiap bentuk kesenian adalah "memanusiakan manusia?" Dengan belajar karakter sikap dan pemikiran orang lain maka kita dapat mengambil suatu iktibar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sebuah perenungan..sebuah kontemplase...Dengan demikian, tidak usah sampai sewot apalagi marah bagi pihak universitas atau pun fakultas dalam menghadapi keberagaman tindakan dan pemikiran anak-anak 'O' ini karena inilah sebenarnya wujud dari kemerdekaan bersikap dan berpikir serta berkumpul dan bersyarikat, yang telah dijamin UUD 1945.Satu pemikiran lagi bagi pengelola teater 'O', kebesaran dan kemegahan nama teater ini akan tetap dikenang sepanjang masa oleh para pengrajin seni, baik di dalam maupun di luar institusi, bila memang keempat kesadaran tersebut tetap dijadikan sebagai landasan berpikir dan bertindak. Selalu introspeksi dalam setiap langkah yang telah diambil, misalnya: apakah saya telah benar2 melaksanakan kewajiban saya sebagai anggota maupun pengurus teater 'O'; adakah kemajuan yang berarti sejak saya menjadi anggota atau pengurus teater 'O'; adakah seluruh program kerja, baik jangka pendek mapun panjang, telah saya susun dan jalankan; ataukah saya menjadi anggota atau pengurus teater ini agar menjadi orang yg terkenal; adakah sedikit perhatian saya terhadap keindahan dan kebersihan serta tata letak kantor sekretariat; atau saya ada dan hadir di teater 'O' hanya sekadar datang dan bernafas.Atau seribu pertanyaan lain yang bisa kita lontarkan kepada diri kita sebagai pendukung keberadaan teater 'O' ini. Semua terpulang kepada diri kita lagi. Tetaplah ingat semboyan kita "HADIR DAN ADA BUKAN SEKADAR DATANG DAN BERNAFAS"
Langganan:
Postingan (Atom)